CERITA PENDEK SEORANG PENJAGA MALAM

 

Pekerjaan sampingan untuk yang kesekian kalinya ia terima, demi memenuhi segenap kebutuhan keluarganya. Meski dengan itu ia harus mengakrabi sayatan dingin angin malam dan berjibaku dengan kantuk hingga pagi menjelang...

***

 

"Stop...kok prolognya gitu amat sih bro? Lebay! Keliatan banget tokoh ceritanya orang susah. Pake kalimat 'demi memenuhi segenap kebutuhan keluarganya' ga ada kalimat lain apa?" sergah Anton, menimpali rekannya sesama penjaga malam, Tomi, yang sedang asyik mengetik sebuah cerita pendek di androidnya. Selain penjaga malam, Tomi memang hobi menulis, baik cerpen maupun artikel, tiap kali mengisi waktu luang ketika tugas berjaga, seperti halnya malam ini.

 

"Lagakmu itu bro, kita memang orang susah. Lagian cerpen ini aku sendiri yang nulis kan? Terserah yang nulis dong mau bikin prolog kayak gimana juga..." Tomi mengangkat alis dan menatap Anton dengan mimik sebal. Melihatnya, Anton malah menyeringai.

 

"Ya sudah, terserah kau sajalah. Aku keliling area belakang dulu ya, sudah tengah malam nih," Anton pun segera mengenakan jaket kulitnya, menenteng senter lalu beranjak keluar dari pos jaga. Tomi mendengus kesal, rekan berjaganya yang konyol dan cerewet itu selalu saja membuatnya senewen dengan segala ocehannya. Kembali ia pun menekuri kelanjutan cerita di layar androidnya.

***

 

Sebuah gudang tua bekas pabrik semen yang bertahun lama tak produktif itu mempekerjakannya sebagai penjaga malam. Meski menurut kabar yang ia dengar, gudang besar yang terletak di pinggiran kota itu menyimpan kisah misteri yang beredar dari mulut ke mulut warga sekitar, tanpa kejelasan fakta.

 

Konon dua orang penjaga malam sebelumnya telah menjadi korban. Dua orang penjaga ditemukan telah meninggal dunia dengan leher dan dada koyak. Sedangkan dua penjaga lainnya, hingga kini masih belum jelas kabarnya. Ada yang mengatakan orangnya bernasib sama dengan dua rekan sebelumnya, ditemukan tak bernyawa ketika tengah berjaga. Menurut kabar lain keduanya menghilang karena mendapat pekerjaan di luar kota yang tak terlalu beresiko besar seperti penjaga malam.

 

Namun semua kabar yang ia dengar tak menyurutkan niat dan tekadnya demi mencari nafkah. Bagaimana pun dua anaknya yang masih kecil, beserta ibu mereka, mengandalkannya sebagai pencari rezeki demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Maka, seperti malam-malam sebelumnya, malam ini pun ia kembali berjaga, setelah beberapa jam di saat siang hingga petang ia habiskan untuk beristirahat di rumahnya.

 

Malam belum terlalu larut, keadaan di sekitar gudang yang beberapa tahun sebelumnya selalu ramai dengan suara mesin dan para pekerja, kini sepi layaknya areal pemakaman. Hanya gudang-gudang menjulang dengan pintu-pintunya rapat terkunci gembok-gembok besar, serta beberapa kendaraan berjenis truck usang yang tak lagi digunakan, terparkir di halaman luas dengan tembok-tembok beton di sekelilingnya.

 

Gerimis baru saja turun dari langit kelam tanpa gemintang, udara pun mulai menyucuk seluruh pori-pori kulit. Di sebuah pos kecil yang terletak di sisi barat pintu gerbang, dengan ditemani televisi 14 inchi yang menyala, menjadi tempatnya berjaga hingga pagi tiba. Sebuah cangkir berisi kopi hitam teronggok di meja, tak lagi mengepulkan uap panas. Ia duduk di kursinya seraya merekatkan jaket yang ia kenakan.

 

Tengah malam pun tiba, saatnya ia berkeliling komplek gudang. Berharap malam ini keadaan kondusif dan keamanan yang terjaga seperti malam sebelumnya. Dengan senter yang menyala terang menyoroti tiap sudut ruang dan sebuah pentungan terselip di pinggang, ia menelusuri jalanan beraspal mengelilingi seluruh area. Gerimis mulai membasahi jaket yang dikenakannya. Beberapa pohon tua yang tumbuh menjulang di belakang area gudang terlihat seperti monster-monster hitam dengan reranting sebagai cakarnya yang mengancam.

 

Merasa keadaan aman, ia hendak berkeliling kembali menuju pos tempatnya berjaga, namun sebuah suara geraman terdengar dari sudut dinding beton sebelah utara, di antara rimbunan semak belukar, ia pun menghentikan langkahnya. Berusaha menajamkan pendengaran, suara geraman binatang malamkah yang ia dengar, atau hanya suara hembusan angin saja? Senter yang dipegangnya erat menerangi rimbunan belukar, berusaha mencari sumber suara yang ia dengar.

 

"Gggrrrrrrrhhhh..." suara yang sayup-sayup dan lemah itu kian terdengar jelas di lubang telinganya. Kembali ia menyoroti tiap inchi rimbunan belukar itu dengan cahaya senternya. Tak ada yang terlihat seperti yang ia harap dan terbayang di benaknya. Hanya suara angin atau gerimis yang jatuh di belukar-kah? Atau suara yang ia dengar benar-benar suara geraman manusia?

 

Nalurinya mulai menyiratkan kewaspadaan. Jantungnya sedari tadi berdegup kencang, menanti kepastian situasi yang akan dihadapi. Tak lupa ia lafadzkan beberapa ayat dari kitab suci sebagai pelindung diri dan penenang hati. Dari balik kerumunan semak belukar tampak sebilah tangan menggapai-gapai hendak keluar.

 

Cahaya senter berusaha menerangi semak yang meninggi, matanya belum lamur benar untuk meyakini bahwa yang ia lihat memang sebilah tangan dengan jari-jarinya yang merayapi tanah bersemak. Tangan yang mengeriput, dengan warna menghitam. Dengan degup jantung yang semakin mengencang, ia berusaha mendekati semak seraya berusaha untuk lebih menerangi dengan cahaya senternya.

 

"Rrrrrggghhhh..." suara yang serak dan lemah itu semakin jelas ia dengar. Begitu pula tangan menghitam yang mengeriput itu kian memanjang keluar dari gelapnya semak belukar.

 

"Sssiapa di sana?!" suaranya yang serak dan berat miliknya akhirnya keluar dari lidah yang kelu. Seraya berusaha menekan bayangan buruk dari kepalanya, dan mendekati rimbunan semak selangkah demi selangkah. Dari balik belukar yang meninggi itu perlahan sebilah tangan menghitam merayap keluar, sosoknya kurus dengan rambut kusut-masai meriap panjang.

 

Penjaga malam itu semakin terhenyak, berusaha meneguhkan jejak dan bersiap menghadapi sosok aneh yang keluar dari balik semak. Sosok hitam itu berdiri setengah membungkuk. Wajahnya yang tak karuan dengan mata hitam yang hampir tak terlihat sembunyi di balik kelopaknya dan rambut kusut-masai yang meriap menakutkan. Mata itu menatap tajam ke arahnya, seringai dari mulutnya menampakkan gigi-gigi runcing yang menghitam dan berlendir.

 

"Rrrgghhhhh...akulah penguasa tempat ini!!!" suaranya yang serak, bergetar, dan membuat kedua lutut penjaga malam itu kian lemas tak mampu beranjak.

 

"Sssiiiiapaa kamuuu?!!!" pertanyaan yang keluar hanya menggumpal dan tertelan sendiri olehnya, sebelum sosok hitam tiba-tiba melompat dan dengan dengus nafasnya yang berat menerkam dan mencabik wajahnya tanpa sempat berlari maupun menghindar.

 

Suara tepukan tangan yang riuh dari acara di tv perlahan memasuki ruang kesadarannya dan menghenyakkannya seketika. Ia terbangun dari tidur pendeknya di kursi pos jaga, dengan tv bervolume kencang menayangkan acara yang entah. Nafasnya terengah-engah, dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Cuma mimpi buruk ternyata, sosok hitam yang menerkamnya dari balik semak belukar ternyata cuma mimpi.

 

Ia mengusap mukanya yang basah oleh keringat, mensyukuri keadaannya yang masih selamat, tak kurang suatu apapun.

 

Namun kedua matanya sontak membelalak, menatap ke balik kaca pos jaga. Kedua mata menghitam itu menatapnya tajam dari balik kelopak dan wajahnya yang rusak. Rongga mulutnya perlahan terbuka, menampakkan seringai mengerikan, dengan gigi-gigi tajam siap menerkam.

***

 

Tomi menghela nafas lega, akhirnya sambil mengisi waktu berjaga demi melaksanakan tugas yang diembannya, iseng-iseng selesai juga sebuah cerita pendek ia tulis. Ia beranjak pelan dari kursinya, menggeliat sejenak meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku.

 

Sudah hampir jam tiga dini hari, kemana rekannya yang konyol itu? Sudah tiga jam lamanya belum juga menampakkan batang hidungnya di pos jaga. Biasanya tak memerlukan waktu lama buat Anton berkeliling, memeriksa keadaan dan situasi areal gudang tempat mereka bekerja. Tomi pun mengecek keberadaan rekannya itu lewat walky talky yang kerap mereka gunakan untuk berkomunikasi. Berulangkali dihubungi, tak ada jawaban. Entah sedang apa rekannya itu di luar sana, di waktu dini hari dengan udara yang dingin serasa membekukan seluruh sendi.

 

Akhirnya dengan rasa penasaran juga kekhawatiran, Tomi segera keluar dari posnya, beranjak sedikit tergesa menuju area belakang gudang di mana sebelumnya Anton menuju. Gerimis mulai turun membasahi jalanan aspal sepanjang area gudang, pun membasahi jaket yang Tomi kenakan. Dengan kilasan cahaya senternya, ia berusaha mencari keberadaan rekannya yang tiba-tiba menghilang. Sesuatu terinjak sepatunya, Tomi menunduk, menerangi benda hitam yang ternyata walky talky milik Anton. Kecurigaan dan firasatnya semakin meruncing, juga rasa khawatir dan rasa takut.

 

Berulang kali Tomi meneriakkan nama rekannya seraya menelusuri tiap sudut pelataran belakang gudang, namun hanya kelengangan yang ia temukan. Suara binatang malam dan rintik hujan yang mulai menderas semakin membuatnya cemas. Tiba-tiba lubang telinganya mendengar suara geraman dan kekehan tawa di antara derasnya rintik hujan.

 

Geraman yang mengingatkannya pada cerita pendek yang baru saja ia tulis di pos jaga. Suara itu tepat terdengar dari arah belakangnya, dari balik semak belukar yang meninggi, bahkan hampir menyaingi tingginya tembok beton yang memagari area gudang itu. Tengkuknya mulai serasa mengeras, berat, seperti tertahan sebidang tembok beton.

 

Suara geraman itu kembali dan semakin jelas ia dengar, ditingkahi suara cecap lidah saat tengah menikmati sebuah hidangan. Dengan segenap keberanian yang dikumpulkannya, ia berusaha menolehkan kepala ke arah semak. Senternya menyorot tajam, tepat pada sosok hitam dengan rambut berjuntai seraya berjongkok di atas sosok yang ia kenal. Mata Tomi membelalak lebar, tak mampu ia memercayai kengerian yang tengah terjadi di hadapannya.

 

Sosok hitam dengan sepasang mata merah, berkuku tajam dan bergigi runcing tengah melahap sebongkah daging berlumuran darah segar. Dan bongkahan berdarah itu berasal dari dada koyak milik rekannya yang terbaring kaku. Jantung Anton! Sosok mengerikan itu tengah melahap jantung Anton! Tanpa disadari Tomi berteriak histeris. Senter yang dipegangnya jatuh terlepas, menggelinding di atas aspal. Ia berusaha berlari secepat yang ia bisa. Namun sosok hitam itu segera melesat mengejarnya, melompat selayak binatang liar berusaha mengejar dan dengan cepat pula menerkam sosok Tomi yang  jatuh terpelanting menghantam aspal.

 

Ketakutan benar-benar telah memacu detak jantung dan aliran darahnya. Ia berteriak penuh kengerian saat menyadari makhluk hitam dan berbulu itu telah berada di atas tubuhnya. Sosok hitam itu menggeram keras, disertai kekehan tawanya, ia menghujamkan kuku-kuku tajam ke leher Tomi. Darah seketika menggelegak, membuncah dari leher yang koyak. ***

Share This Post: