Bidadari di Lampu Merah

Matahari bersinar angkuh. Butir-butir keringat membanjiri tubuhku dari tadi. Gerah. Aku masih setia ditemani trotoar perempatan Soekarno-Hatta. Setelah tiga jam berlalu, retinaku tak urung memangkap sosok bayangan yang aku cari.

 

            “Biasanya dia muncul jam berapa, Ceh?” aku bertanya pada Ceh Liu.

 

            “Tergantung, Bang, katanya jam segini dia mangkal di sini.”

 

            “Kamu yakin, Ceh, di sini tempatnya?”

 

            “Kata anduang Mijah iya, Bang. Abang sabar dulu. Kita tunggu sebentar lagi. Eh… lampu merah Bang!”

 

Aku kembali menyapu setiap sudut di sekitar lampu merah pongah yang ditunjuk Ceh Liu. Namun, lagi-lagi aku gagal.

 

            “Kenapa tidak ada juga ya, Ceh, atau memang bukan di sini tempatnya?”

 

Ceh Liu tak menyahut apa-apa. Matanya tetap menggerogoti kendaraan yang antri dari sampingku.

 

Sudah pukul 17.35. Hari ini pencarianku tidak membuahkan hasil apa-apa.

 

            “Bang, sudah sore. Kita pulang saja yuk, besok kita lanjutkan lagi!” Ceh Liu mengingatkanku kalau mentari sudah mulai beranjak. Hatiku semakin perih rasanya. Bayangan Seu Yun kembali menari di benakku. Adik bungsuku yang meninggalkan rumah dua tahun silam. Seu Yun yang menjadi pelita di tengah-tengah gelapnya hatiku, Papa, Mama, dan juga Ceh Liu. Seu Yun yang selalu tersenyum. Seu Yun yang memutuskan untuk memilih berteduh dalam naungan Islam. Seu Yun yang… Ah, bening terasa mengalir di pipiku. Bercampur dengan sisa-sisa keringat yang membekas. Membuat muka letihku terasa semakin kusut.

 

            Benarkah Seu Yun kini menjual koran di lampu merah untuk sesuap nasi? Oh…begitu kukuhkah dia mendekap cahaya yang membuat Papa murka itu? Kau terlalu kejam pada Seu Yun, Pa. Telingaku mendengung. Dua kristal kerinduan kembali tumpah. Membuat semuanya menjadi buram.

 

 

 

***

 

 

 

            Honda Jazz silver merambati aspal kering. Lampu-lampu jalan telah semarak membuat kota Bukittinggi tersenyum simpul. Senyum di atas ketidakramahan lampu merah yang telah mengikat Seu Yun di bawah sinar-sinar tajamnya.

 

            Melewati bangunan bioskop peninggalan Belanda, aku memarkir mobilku. Suara adzan Magrib mendengung di udara. Damai menyusup pelan di hatiku. Kepenatan dan kerinduan pada Seu Yun berbaur jadi satu rasa. Air wudhu’ yang membanjiri mukaku, membuat pikiranku terasa jernih dan kembali terbuka.

 

            Dinginnya lantai masjid menyupup pelan, terasa sampai ke ulu hati. Aku masih kaku di atas sajadah. Doa-doa panjang tak penat kuluncurkan dari bibir yang kerontang. Agar menjelma menjadi tetes cahaya yang mampu menerangi gelapnya kalbuku. Aku  pasrah. Aku tak tahu apakah Tuhan akan menjadikan butir-butir doa itu sebagai embun penawar rinduku yang membuat aku semakin tak kuasa, yang jelas aku tetap berharap kehadiran Seu Yun di tengah-tengah keluarga kami.

 

            Terlintas di benakku betapa besarnya hati Seu Yun melihat aku terpaku pada sajadah ini. Aku yang beku dalam sujud khusuk. Sujud yang membuat Seu Yun kuat meninggalkan segala kemewahan yang Papa berikan. Ah… kau benar, Dek! Sujud ini benar-benar damai. Tidak ingin rasanya aku beranjak. Memohon agar kau kembali. Kita sama-sama menapak jalan lurus yang kita temukan ini. Kita akan sholat bersama dan aku yang akan menjadi imamnya. Kita akan menerangi rumah dengan lantunan merdu bait-bait Al-quran. Pulanglah Seu Yun! Kami semua merindukanmu.

 

            “Bang, sudah malam,” Ceh Liu menepuk bahuku dari balik mukenah putih yang membungkusnya beberapa minggu terakhir ini. Aku tersedu.

 

            “Kita pulang sekarang, Ceh?” aku bertanya tanpa melepaskan pandanganku pada sajadah yang terbentang.

 

            “Ya Bang, Papa dan Mama pasti sangat khawatir.”

 

Honda Jazz kembali merambat pelan. Sunyi menguasai hatiku. Tak ada getaran lain selain detak jantungku yang berpacu dengan deru kendaraan.

 

            Kulirik Ceh Liu. Adikku itu kini khusuk melumat malam yang hening.

 

            “Ceh…,” suaraku memecah keheningan. Ceh Liu menatapku sejurus.

 

            “Menurutmu Seu Yun sudah makan?” tanyaku.

 

Ceh Liu tersenyum tipis. Dia tak menjawab pertanyaanku. Sunyi kembali menguasai.

 

            “Seandainya saja hidayah itu datangnya lebih awal, tentu Seu Yun masih bersama kita. Bukankah begitu, Ceh?

 

Mata Ceh Liu mulai berkaca.

 

            “Ini ujian, Bang. Bukankah dulu Abang pernah berkata seperti itu? Kita jangan pernah salahkan Tuhan! Cepat atau lambat Seu Yun pasti bersama kita lagi.”

 

“Kau benar, Ceh” bathinku. Ternyata kau jauh lebih tegar.

 

 

 

***

 

            Dinginnya angin malam memainkan daun-daun. Menari dan berkejaran sambil bersiul kecil. Di langit, rembulan sendiri menatap benderang kota Bukittinggi. Tidak ada bintang-bintang yang mengajaknya bercanda bersama angin.

 

            Aku masih menatap kosong, menembus Marapi dan Singgalang yang mungkin tengah bercengkrama. Bercerita tentang kesetiaan mereka menjaga sudut-sudut Ranah Minang ini dari kejamnya kehidupan.

 

            Dua helai daun ketaping kering  terbang dan jatuh di hadapanku. Aku terjaga. Terduduk dalam diam menatap malam. Tidakkah kau lihat malam yang begitu pekat Seu Yun? Sepekat hatiku.

 

Bayang-bayang Seu Yun kembali datang dari balik awan. Dia masih bak bidadari yang tersenyum padaku. Jari-jarinya mengapit lembaran-lembaran koran. Dia amat teduh dengan jilbab yang melingkar di wajahnya itu. Aku berusaha merangkulnya. Namun bayangan Seu Yun tiba-tiba menukik tajam, menembus pekatnya malam.     

 

“Seu Yun…Tunggu!” aku berteriak.

 

            “Tok…tok…tok… Bang, keluarlah dulu! Papa dan mama sudah di meja makan. Kita makan bersama malam ini, Bang.” Suara Ceh Liu menggema dari balik daun pintu kamarku. Aku tak menyahut apa-apa. Aku hanya ingin memanggil Seu Yun dengan suara ini.

 

            “Bang… apa Abang di dalam?” Ceh Liu kembali memastikan kalau aku ada.

 

            “Ya Ceh, nanti abang menyusul,” jawabku dengan suara berat.

 

Makan malam aku lalui begitu hambar. Perutku seakan menolak hidangan mewah yang dimasak mama. Padahal di depanku ada fu yun hai dan kue tien kesukaanku dan juga Seu Yun. Dulu sering aku berebut dengan Seu Yun  membujuk mama memasak fu yun hai. Tak jarang pula kami balapan. Siapa yang menang, harus mentraktir somay Kong A Chin di gerbang Kampuang Cino. Makan malam tak kan sedingin ini.

 

Aku tak banyak bicara. Hanya Ceh Liu yang dari tadi menjawab pertanyaan Papa tentang pencarian tadi siang.

 

            ‘‘Coba kau temui anduang[2] Mijah, besok! Barangkali dia tahu banyak tentang keberadaan adikmu itu.” Papa memberiku saran di balik nada beratnya. Walau Papa bersedia menerima kembali Seu Yun. Tapi dia tetap tidak mau hijrah bersamaku. Hati Papa telah terlalu beku untuk kembali cair. Seandainya saja papa tahu betapa damainya aku, Seu Yun, dan juga Ceh Liu di bawah naungan Islam ini. Tentu dia akan ikut merasakan pilu yang menyergapku semenjak Seu Yun pergi.

 

 

 

***

 

            “Nduang… Apa benar yang anduang lihat itu, Seu Yun adikku?”  aku memastikan jawaban anduang Mijah.

 

            “Anduang ndak bisa memastikan, Nak!

 

                “Lalu, apa anduang tidak menemui Seu Yun, dan menyuruhnya pulang, Nduang?” tanyaku kembali.

 

Wanita tua itu menghentikan pekerjaaannya. Tadi aku menenuinya sedang menyusun seragi-serabi dagangannya ke dalam talam besar. Anduang Mijah adalah penjual serabi. Sudah dari kecil aku mengenal wajah Minangnya. Dulu anduang hampir tiap hari berjaja makanan itu ke Kampuang Cino. Tapi sekarang hanya berjualan di sekitar Balai Bancah. Dia sudah terlalu tua. Suaminya Atuak Marajo sudah lama meninggal.Cerita anduang padaku, Atuak meninggal sasat PRRI bergejolak Bukittinggi tahun 1958. Waktu itu atuak Marajo seorang tokoh Minang yang tewas dalam operasi “17 Agustus.”

 

            Aku masih menunggu jawaban anduang Mijah yang beranjak ke arah buffet coklat hati ayam di sudut ruangan Rumah Gadang. Kuamati dia menyusun tiga lembar daun sirih dari dalam kampia  pandan. Lalu dia membungkus sepotong pinang muda dan gambir dengan daun sirih itu. Kemudian jari telunjuknya menyambar secuil sadah dari kaleng bekas tembakau.

 

            “Sabananyao anduang lai ingin manamui adikmu itu. Tapi hari alah laruik sanjo, nak. Adikmu itu tagageh anduang caliak.” Anduang mengatakan kalau dia melihat Seu Yun di suatu sore.

 

            “Ke arah mana dia pergi, Nduang?” nafasku memburu.

 

            “Dia naik oto ke Aur Kuning.”

 

Masih banyak yang ingin aku tanyakan pada anduang. Tapi hatiku semakin berontak untuk segera menemui Seu Yun ke daerah Aur Kuning. Kerinduan yang kupendam sekian lama rasanya semakin menjadi-jadi menyesakkan dada.

 

***

 

            Siang yang melelahkan. Seu Yun belum juga kutemukan. Hari ini aku kembali menyusuri trotoar Soekarno-Hatta. Tempat anduang Mijah melihat Seu Yun menjual koran. Kali ini aku pergi sendiri tanpa ditemani Ceh Liu. Adikku itu kini mengikuti pengajian di majlis ta’lim masjid Jamik. Dia sudah jauh berubah. Sudah beberapa hari ini dia mengikuti Seu Yun untuk memakai jilbab. Di kamarnya tak ada lagi kutemui poster-poster artis mandarin yang dulu amat diidolakannya. Tidak ada lagi lagu-lagu beraliran rock terdengar dari dalam kamarnya. Ya Allah betapa indahnya suasana yang Kau berikan ini. Seandainya saja Seu Yun melihat ya Rabb. Kebahagiaan ini akan semakin terasa sempurna.

 

            Lampu merah kembali bertahta angkuh memancarkan sinar-sinar yang menikam hatiku. Aku melihat malaikat-malaikat jalanan tengah bersenandung dari relung hati mereka yang terdalam. Merdu. Menantang tatapan lampu merah yang mengawasi setiap ayunan, petikan, dan tabuhan alat musik di tangan-tangan kuat mereka.

 

            “Seu Yun…!!?”

 

Mataku menangkap gadis berjilbab mengapit koran-koran dengan tangannya.Ya! Dia Seu Yun-ku. Mata itu mata sipit Seu Yun-ku.

 

            “Seu Yun!!” Aku berteriak di tengah keriuhan jalan raya. Tak kuhiraukan tulang-tulangku yang letih. Tiba-tiba Seu Yun memberikan kekuatan baru padaku. Ajaib. Aku ingin tersenyum.

 

            Seu Yun menatap. Dia amat terkejut melihatku. Sekejab kaki-kaki kecilnya berlari di atas aspal panas. Dalam kelelahan aku menyusul langkah Seu Yun yang semakin mendekat. Pikiranku sudah bulat merangkul Seu Yun secepat mungkin dan membawanya pulang. Tiba-tiba tubuhku melayang. Semuanya terasa begitu ringan dan terjadi amat cepat. Bau anyir mengeroyok rongga hidungku. Darah! Cairan merah kental masih aku rasakan mengalir dari arah kepala.  Sayup-sayup aku mendengar rintihan kecil Seu Yun.

 

            “Bang…bangun, Bang! Jangan tinggalkan Mae, Bang.”

 

            Mae? Gadis itu menyebut dirinya Mae? Jadi dia bukan Seu Yunku?

 

Tenagaku masih lekat. Kuraih kristal-kristal bening di pipi gadis itu.

 

            “Seu Yun?” aku bersuara lirih.

 

            “Ya, Bang. Ini Seu Yunmu, ini Mae, Bang…”

 

Aku membalas rangkulannya. Namun kali ini aku gagal. Tapi hatiku tersenyum dalam usapan tangan Mae di wajahku. Usapan tangan  Seu Yun (*)

 

 

 


[1] Nenek

 

[2] Anduang, berarti nenek

Share This Post: