HARI ISTIMEWA

Masih gelap, bisik hati Indri begitu menyibak tirai jendela dan memastikan sepasang matanya tak dapat menemukan apapun, selain kegelapan. Ditutupnya kembali tirai. Sebelum meneruskan langkahnya ke pintu, sejenak pandangannya tersita oleh sosok pulas yang meringkuk di atas ranjang. Selimut yang malam tadi sempurna menutupi tubuh, kini sudah bergulung di ujung telapak kaki. Indri geleng-geleng kepala melihatnya. Tak pernah betah berselimut, gumamnya sambil melangkah keluar. Ia tak ingin berlama-lama. Karena menikmati wajah pemilik tubuh itu dalam keadaan tidur, akan menyita waktunya berjam-jam. Begitu damai. Dan ia takkan merasa menyesal menghabiskan waktu demi mendapatkan rasa damai itu dan meletakkannya dalam hati yang terdalam.

 

    Indri bergegas menuju dapur. Ia bangun lebih pagi dari biasanya. Dan itu membuatnya berulangkali menguap, meskipun telah mencuci muka Toh tangan dan kakinya tetap gesit bergerak. Mempersiapkan menu sarapan istimewa. Ya, seistimewa hari ini.

 

    Indri tak dapat menutupi keriangan hatinya. Senandungnya yang merdu, bagai tak putus-putus sejak tadi memenuhi ruangan. Dan semua dilakukan sambil mempersiapkan nasi goreng seafood kesukaan suaminya.

 

    Seseorang muncul di ambang pintu dapur. Seorang lelaki jangkung dengan berat badan proporsional. Kantuk masih menggantungi kelopak matanya. Indri masih memunggunginya. Namun, insting perempuan cantik itu memaksa kepalanya untuk menoleh ke belakang. Merasa ada sepasang mata yang mengawasi. Senyumnya merekah seketika, manakala melihat sosok jangkung yang menyandar di sisi dinding.

 

    “Hallo, Pendekar. Sudah bangun? Lihat apa yang kupersiapkan pagi ini untuk sarapan..” Indri mengangkat piring berisi nasi goreng seafood komplit yang ada di tangannya. “Taddaaa..” ujarnya dengan wajah sumringah. Lelaki yang disapa tertawa lebar tanpa suara. Ia menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal dan melangkah mendekati Indri. Tangannya meraih piring yang disodorkan Indri dan mencium aromanya dengan mimik penuh minat.

 

    Tapi, begitu ia akan meraih sendok, tangan Indri cepat mencegah. Ia merebut kembali piring nasi goreng. Sepasang mata indahnya membulat besar.

    “Ooo.., tak ada makan tanpa cuci muka dan sikat gigi. Merusak cita rasa, tahu?”

    Dengan sebelah tangan yang masih kosong, ia mendorong punggung lelaki itu menuju kamar mandi. Lelaki itu melangkah patuh sambil terkekeh-kekeh.

    “Siap, Bu Bos!” jawabnya dengan nada menggoda. Sirna sudah kantuknya,meski air belum menyentuh wajahnya. Indri mencibir.

    El, lelaki jangkung itu, adalah suaminya. Dan hari ini, hari istimewa untuk El. Hari yang ditunggu-tunggu dengan semangat baru.

 

    Begitu keluar dari kamar mandi, tanpa dikomando, El langsung duduk manis di ruang makan. Kedua tangannya sigap meraih sendok dan garpu, lalu….hap. Sesendok nasi goreng buatan Indri telah bersemayam di rongga mulutnya. Lalu diikuti dengan suapan kedua, ketiga dan seterusnya…, hingga tandas. Licin tiada bekas. Indri ternganga. Ia yakin sih nasi goreng buatannya super lezat. Tapi, selahap itukah? Seperti tak makan dua hari saja, gumamnya perlahan. El bahkan menjilati ujung-ujung jari kanannya, memastikan tak sebutir remah pun yang tersisa. Ia baru berhenti ketika menyadari Indri di seberangnya, tak berkedip menatapnya! Senyumnya mengembang.

 

    “Enak sih..” katanya menyadari keheranan istrinya. Dahi Indri seketika berkerut.

    “Memang kemarin-kemarin tak enak?” kejarnya penasaran.

    “Enak.”

    “Terus..?”

    “Yang sekarang jauuuuuh lebih enak..” pujinya dengan mimik meyakinkan. Indri mencibir.

    “Masa sih?”

    “Sungguh!” El mengacungkan kedua jempolnya sambil manggut-manggut.

    “Kok bisa?”

    “Harusnya aku dong yang bertanya seperti itu..Mungkin karena kamu masaknya sambil nyanyi kali..,” tebaknya asal.

    “Mmm.., memangnya punya pengaruh?” Indri menatap suaminya tak yakin.

 

    “Pasti. Sesuatu yang dikerjakan dengan hati gembira dan penuh semangat, tentu hasilnya akan lebih sempurna.” El bangkit dari duduknya dan menghampiri Indri. Dijentiknya sekilas pipi perempuan yang dulu setengah mati didapatkannya. Jatuh bangun ia berjuang mendapatkan perhatiannya. Maklum, kembang kampus. Cantik, pintar dan ramah. Tiga hal yang selalu mengundang penggemar. Dan lawannya tangguh-tangguh. Seluruh lelaki yang masuk dalam deretan ter…, terbaik, terganteng, terpintar.., pokoknya serba ter lah. Jauh dengan dirinya yang biasa-biasa saja. Toh, tetap saja yang namanya jodoh takkan ke mana..

 

   “Terima kasih, Sayang. Aku siap-siap dulu, ya?” Indri mengangguk di sela-sela senyum tipisnya. Pikirannya masih tersita dengan pertanyaan, sebegitu lezatkah sarapan buatannya pagi ini? Ia tak pernah melihat El ‘serakus’ tadi. Tak juga di bulan puasa. Mungkinkah itu pengaruh hatinya yang gembira, karena mendapatkan pekerjaan baru, setelah satu bulan menganggur akibat PHK? Entahlah.

El sudah berlalu sejak tadi. Indri tersentak. Cepat ia menyusul El ke kamar.

    Saat Indri tiba, El tengah asyik mematut-matut diri di cermin. Semerbak musk menyeruak lembut dari tubuhnya.

    “Hai, Sayang? Apa penampilanku sudah terlihat oke untuk hari pertama masuk kerja?” El memutar tubuhnya menghadap Indri. Kedua tangannya terentang penuh gaya. Indri manyun dan menatap curiga.

    “Istimewa betul? Mau kerja atau ….”

    “Atau apa? Jangan aneh-aneh, ah. Bukankah aku selalu serapi ini saat bekerja? Terbiasa sebulan ini melihatku tampil seadanya, ya?” El mengerling jenaka. Entah kenapa hati Indri berdesir halus menyambutnya. Perasaan yang aneh. Ia biasa mendapatkan perlakuan mesra dari sang suami, tapi kali ini hatinya menerima dengan suasana berbeda. Seperti ada sesuatu..tapi entah apa. Dan itu membuat kepalanya terasa berat.

    El meraih tas kerjanya dan mendekati Indri.

    “Jangan cemburu, takkan ada yang menggantikan tempatmu di hatiku. Sampai akhir. Sampai akhir….” Kalimat terakhir diucapkan El dengan lirih. Tawa Indri terbit juga. Ia merasa geli mendapati mimik serius yang dipaksakan di hadapannya.

“Pagi-pagi sudah gombal!” tukasnya sambil menepuk ringan bahu El. Tapi lelaki itu tak tertawa. Ia diam beberapa saat. Menatap lurus ke wajah Indri. Menggenggam erat kedua tangannya.

    “Mengapa harus menunggu waktu yang tak pasti untuk mengungkapkan isi hati kita. Pagi, siang atau malam, semua sama saja. Menunggu saat yang tepat kadang hanya akan membawa penyesalan.” Indri melongo mendengar kata-kata El. Astaga, kenapa dia? Benar-benar pagi yang tak biasa. Nasi goreng super lezat, penampilan necis dan wangi, juga rayuan. Ah..

    “Aku pergi dulu, ya?” pamit El dengan suara dalam. Indri mengangguk. Tak menyadari hadirnya tatapan berat dan penuh keraguan di mata suaminya.

    “Hati-hati..” El mengangguk. Ia melangkah lambat ke pintu depan.

    “Langsung ke kota?” El kembali mengangguk. Ia sudah berdiri di teras.

    “Aku nggak bawa mobil. Naik motor saja..”

    “Kenapa?” tanya Indri heran.

    “Takut rusak.”

    “What? Bukannya tuh mobil sudah setahun umurnya?” El menghentikan langkahnya yang telah terayun mendekati motor tuanya. Ia menarik nafas panjang.

    “Entahlah, aku juga nggak tahu, Sayang. Aku cuma merasa kalau hari ini ingin kulewati dengan yang indah-indah. Juga meninggalkan mobil itu dengan penampilan indahnya, untuk menemanimu.” Indri sudah tak tahan lagi. Tergelak ia memburu El. Yang diburu pun cepat-cepat naik ke motor dan melaju meninggalkan Indri yang kesal karena tinju kecilnya urung singgah di pundak El.

    “Dasar buayaaa!!” serunya sambil tertawa dongkol. El di tikungan jalan masih menyisakan derai tawanya. Begitulah. Meskipun belum dikaruniai momongan, hidup mereka masih tetap penuh warna. Tak beda dengan saat-saat pertama jatuh cinta. Dulu. Sehingga terkadang, waktu yang berlalu tak pernah menjadi beban walaupun belum ditingkahi tangis bayi.

 

 Biasanya jarak ke kota ditempuh El dalam waktu satu jam lebih. Tapi kali ini, ia ingin memecahkan rekor. Bak Valentino Rossi, El membayangkan dirinya tengah memacu motor di kejuaraan Moto GP. Whuzz..!! Melesatlah ia di sepanjang jalan yang tak terlalu ramai. Dari balik helm, senyumnya terkembang. Pekerjaan baru, semangat baru dan masa depan yang kembali cerah. Semua harapan itu membayang di wajahnya.

 

 Merasakan hidup sebagai pengangguran memang baru satu bulan dijalaninya. Namun rasanya bagai berabad-abad lamanya. Hidupnya hanya diisi dengan acara makan, tidur, nonton televisi dan melihat berbagai lowongan pekerjaan. Begitu terus. Membosankan! Rasanya seperti tak hidup saja. Beruntung, ia tak perlu menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun seperti tetangga depan rumahnya. Karena sebulan lewat satu hari, jawaban atas lamarannya ke sebuah perusahaan di kota, datang menepis kegundahan. Setelah melewati berbagai seleksi dan wawancara, akhirnya tibalah ia di hari ini. Hari pertama kerja!

 

    Indri melirik jam yang melekat di dinding. Pukul lima. Tak terasa hari beringsut senja. Ia sudah bersiap sejak tadi. Mandi dan berdandan secantik mungkin. Ia ingin menyambut kepulangan El dengan istimewa. Seistimewa pagi yang dipersembahkan El untuknya. Dan mungkin seistimewa hari pertama kerja yang dilalui El di kota. Menu makan malam juga dibuat berbeda dari biasanya. Ia mencoba resep baru dari majalah. Balado daging dengan sentuhan berbeda. Hmm, El pasti akan makan selahap atau bahkan lebih lahap dari pagi tadi. Sedikit gelisah ia menunggu. Kalau tengah menantikan sesuatu begini, pasti waktu akan terasa bergulir sangat lambat. Lima menit rasanya seabad.

 

    Indri baru saja akan beranjak meraih remote tv, ketika suara gemuruh yang diikuti guncangan keras, membuat tubuhnya terhuyung kiri kanan tanpa kendali. Ia hampir terhempas kalau saja tak cepat-cepat menjaga keseimbangan. Ap..apa ini? Pikirnya panik. Gempa. Yaa.., gempa. Ia melirik lampu hias gantung yang terombang-ambing dengan kuat. Dan tak lama, BRAAKK..Lampu itu jatuh terhempas dan berantakan. Ia mencoba untuk percaya. Gempakah ini atau hanya mimpi?

 

Namun, Indri tak bisa berpikir lebih lama lagi. Retakan halus yang perlahan membesar muncul di lantai, tempat kakinya mencoba menopang keseimbangan tubuh. Kesadaran menggerakkan tubuhnya untukmenyelamatkan diri. Sekuat tenaga ia berlari ke luar rumah. Terlebih ketika beberapa benda telah terhempas ke lantai rumah. Bahkan televisinya juga terjungkal. Indri berjuang demi hidupnya. Dan ia sedikit bernafas lega ketika berhasil lari ke badan jalan, bergabung bersama tetangga lain yang panik dan menjerit-jerit. Tubuhnya masih terus terhuyung-huyung, mengikuti irama bumi. Tanah yang dipijaknya kini bagaikan sebatang kayu yang hanyut di aliran sungai. Masyaallah, benarkah ini gempa? Sungguh, seumur hidupnya tak pernah Indri merasakan gempa sekuat ini. Kota mereka memang sering dilanda gempa. Tapi tak pernah sedahsyat ini.

 

    Indri terkesiap saat sebuah gemuruh yang menakutkan menerpa gendang pendengarannya. Disusul teriakan histeris yang bersahut-sahutan. Indri menoleh. Astaga! Rumah di seberang tempat berdirinya sekarang, rubuh memeluk tanah. Begitu saja. Refleks tatapannya berpaling ke rumah. Ia mendapati retak besar di sisi depan dinding rumahnya. Berulang-ulang Indri menyebut nama Tuhan. Berulang-ulang ia memanjatkan doa, semoga tak ada sesuatu yang buruk menimpanya. Juga El. Ya.., El!! Ingat nama itu membuat Indri lemah. Di mana dia? Lalu semuanya membuat Indri linglung dan limbung.

 

    Sudah gelap, bisik Indri dalam hati. Ia tak lagi dapat melihat apapun, selain pendar-pendar cahaya muram, yang berasal dari nyala lilin di sekitarnya. Hari telah malam. Tapi tak ada benderang seperti biasa. Sepertinya, gempa berkekuatan besar tadi sore, juga telah memutuskan aliran listrik. Perlahan telinganya menangkap deru angin yang tak biasa. Lantas perlahan-lahan, buliran air menitik dan membasahi kulitnya. Hujan.

 

    Indri berlari dalam kegelapan. Beberapa kali ia nyaris jatuh karena tersandung batu. Toh, tak dihiraukan. Ia terus berlari ke arah garasi rumah. Hanya itu satu-satunya tempat yang dapat menyelamatkannya dari kuyup. Masuk ke rumah, jelas ia tak berani lagi. Bayangan akan gempa susulan yang bakal merubuhkan rumahnya sewaktu-waktu, membuatnya kuat bertahan di sudut garasi. Indri tiba tepat waktu. Karena sedetik kemudian, hujan turun sangat deras disertai angin kencang. Ia merapat ke salah satu sudut garasi. Lalu berjongkok dan meringkuk menahan dingin. Bibirnya menggeletar. Sekujur tubuhnya menggigil. Beberapa bagian bajunya yang basah telah lekat ke badan. Dingin merasuk hingga ke tulang. Dalam gemeletuk giginya, terbata ia mengeja nama suaminya.

 

    Kota kini seperti mati. Hanya kerumunan orang-orang panik, histeris dan sedih yang menandakan adanya kehidupan di sana. Gedung-gedung tinggi, semuanya bagai tak berbentuk lagi. Nyaris rata dengan bumi. Sementara di puing-puingnya bertumpukan tubuh-tubuh tak berdaya. Menahan sakit tak terperi. Lainnya bahkan meregang nyawa dengan membayangkan wajah-wajah para tersayang yang ditinggalkan. Demikian halnya seorang lelaki bertubuh jangkung, yang tersengal di antara tumpukan beton dan besi yang menghimpit tubuhnya. Hanya ada sedikit rongga di atas kepalanya. Darah yang mengucur di wajahnya mulai mengering. Meski tetesan selanjutnya masih juga mengalir. Namun bibirnya menyungging senyum. Pasrah. Sebuah kalimat pendek dibisikkannya. Berharap angin akan mengirimkannya pada seseorang, yang mungkin masih menunggunya. I love you….

 

    Telinganya samar masih mendengar suara-suara langkah mendekat. Juga erangan dan rintihan di sekitarnya.  Namun, sebuah bayangan putih dengan benderang yang menyilaukan di hadapannya, yang menatap penuh iba dan mengulurkan tangan, telah menyita seluruh perhatiannya.  Ini saatnya. Ia harus pulang…

 

    Indri masih meringkuk di sudut garasi. Ia masih mengeja nama suaminya. Meski bibirnya telah membiru dalam getar yang tak berkesudahan. Ia mencoba menembus gelap lewat matanya.. El belum juga pulang. Ia akan menunggu di sini. Tempat di mana ia melepas suaminya pergi. Air mata yang mengalir di pipinya sejak sembilan jam lalu, seperti tak berkesudahan. Meskipun matanya sudah begitu perih menahankannya. Ia akan tetap menunggu. Ini hari istimewa El. Meskipun balado daging  telah tertimbun puing. Meskipun riasannya telah luntur sejak sore tadi. Meskipun

Share This Post: