Pilihan

Daun-daun gemerisik di kibasan ekor-ekor kera yang bercengkrama, membalut dingin yang terbuka di sepanjang panorama. Takkah kau merasa kenangan sudah waktunya ditinggalkan, Tuan?

            Pagi yang tak hangat menyapaku, seperti ingatan yang akan kusudahi. Di kanan-kiri, rumpun dahlia bergoyang-goyang menyapa, mengingatkanku untuk tak berdiri terlampau ke tepi.

            "Masih terlalu muda untuk bunuh diri, Izza."  Kalimat itu menyeruak dari tumpukan kenangan. Kau. Kau yang mengatakannya. Langkahku surut ke belakang beberapa tindak.

            Aku menatap jauh, menerobos kabut pekat yang menyembunyikan rupa Maninjau di bawah sana. Ah, harusnya kau di sini dan mengulang percakapan yang tak pernah basi itu denganku, tepat di atas lekuk kelok 44. "Kelok tambuah.." koreksiku saat kautahbiskan kelok 45 sebagai nama baru.

            "Pukul berapa, sekarang?" Sebuah suara mengusik dari balik punggungku.

            "Tujuh." Sahutku tanpa menoleh ke sumber suara.

            "Kau sudah shalat Subuh?" Aku tak dapat menahan tawa mendengar pertanyaan itu.

            "Jam segini kau menanyakan shalat Subuh? Ya, sudahlah. Aku bangun tepat pukul lima tadi."

            "Aku tidak. Baru bangun." Aku sudah tahu, batinku. Seperti biasa..

            "Kau tak kedinginan, Izza?" Aku meringis. Ini kampungku, Tuan. Ingin kujawab begitu, tapi yang keluar hanya gelengan kepala. Kau manggut-manggut seperti boneka per di dashboard mobil.

            "Ah ya, bodoh sekali aku. Bukankah tubuhmu sudah sangat terbiasa dengan cuaca begini?"

            "Di mana bisa mendapatkan sarapan enak, Izza. Perutku keroncongan." Lelaki itu telah berdiri di sampingku, dengan tatapan terlempar ke hamparan kabut di depan mata.

            "Di pasar. Ada banyak penjual sate dan katupek gulai paku di sana. Di rumah hanya ada gulai ikan kemarin." Wajah di depanku menunjukkan keengganannya pada pilihan terakhir. Aku tahu, ia tak suka makanan yang sudah berulang dipanaskan.

            "Kita ke pasar saja, ya?"

            "Kita?" Aku mengerutkan dahi dalam-dalam, menggarisbawahi maksudnya.

            "Iya. Kita. Kenapa? Ada masalah?" Masalah benar, Tuan.

            "Sangat. Penduduk kampung akan memandangi kita seperti alien lalu mengembuskan kabar burung yang akan memerahkan wajah keluargaku."

            "Bukankah mereka tahu kalau kedatanganku ke sini bersamamu? Apa yang diherankan?" Aku menyipitkan mata memandang wajah bingung di depanku. Ah Tuan, ini Matur, bukan Jakarta.

            "Benar. Tapi ini di kampung yang sangat kuat memegang nilai-nilai adat dan agama. Kita tak bisa seenaknya saja."

            "Uh, Izza. Kita hanya mencari sarapan. Bukan bersunyi-sunyi berduaan. Bahkan di sini pun banyak mata yang memandang." Bersamamu ke pasar berarti membentang pengumuman ke pelosok nagari, hingga ke rumah gadang di ujung jalan.

            "Pasar tak terlalu jauh dari sini. Pergilah sendiri. Aku titip dua bungkus lontong pical untuk orang di rumah." Aku merogoh saku,  mengeluarkan selembar uang kertas lima puluh ribu dan mengangsurkan padanya. Ia menggeleng dan melangkah pergi.

            "Aku akan membelikannya. Jangan kuatir." Ia berlari meninggalkanku sambil melambaikan tangan. Dengan kaos kutung biru benhur dan celana pendek setengah paha, ia benar-benar terlihat asing.

            "Apa aku bisa mengatakan ke orangtuamu hari ini?" Aku menggeleng. Lelaki berambut ikal pirang di depanku terlihat gusar. Ia mondar-mandir di depanku.

            "Kenapa lagi?"

            "Tunggulah dulu."

            "Izza, sudah lima hari aku di sini dan kau masih menyuruhku menunggu. Lantas kapan? Lusa, sejam sebelum aku pulang?"

            "Sabarlah. Akan kukatakan bila sudah tepat waktunya."

            "Kau semakin aneh sejak kita di sini."

            "Tidak. Biasa saja."

            "Kau bukan kau yang di Jakarta," keluhnya. Memang tidak!

            "Izza.."

            "Tunggulah. Nikmati saja apa yang ada di sini dulu. Kau bisa main ke Puncak Lawang atau bersepeda menikmati kelok hingga ke Maninjau. Atau ke Bukittinggi sekalian."

            "Sendiri lagi?"

            "Ya. Tak salah, kan?"

            "Tak salah? Aku berangkat dari Jakarta ke sini bersamamu, namun menghabiskan satu minggu di sini sendirian seperti orang gila?" Aku mengernyitkan dahi, tak menyetujui kalimatnya.

            "Takkan ada yang menyebutmu gila." Tandasku cepat.

            "Tapi aku merasa demikian."

            "Aku tak bisa menemanimu kemana-mana seperti di Jakarta. Maaf.."

            "Kenapa?"

            "Karena ini kampungku. Aku harus memegang nilai-nilai yang hidup di keluarga dan masyarakat. Aku hanya bisa menemuimu di rumah saja."

            "Ayolah, Izza. Aku sudah menginap di hotel dan mengikuti semua aturanmu. Aku sudah berkenalan dengan keluargamu. Lalu kenapa harus terus menunda untuk membicarakan semua itu?" Protes itu diucapkan dengan nada yang sangat tak enak didengar, seperti yang biasa kau turutkan untuk bawahan di kantor. Apakah seperti itu posisiku di hadapanmu, Tuan?

            "Kau harus belajar memahami nilai-nilai yang berlaku di sini. Apa kau kira begitu gampang mendapatkan izin dari keluargaku untuk niatmu itu?"

            "Niatku? Bukankah itu juga niatmu?" Ia menyela dengan tatapan tajam yang menguliti wajahku. Aku menelan ludah. "Atau..,jangan-jangan kau telah mengubah  keputusan?" Lelaki itu mencermatiku seperti juru periksa.

            Mengubah pikiran? Sepertinya aku mulai meyakini kenyataan itu. Menatap wajah Amak dan Apak yang begitu mengharapkanku meluluskan keinginan mereka, rasanya sulit untuk berkata tidak. Tapi ada kau. Bagaimana ini? Bagaimana, Tuan?

            "Apakah dia pacarmu, Izza?" Amak menanyakannya sambil lalu di tengah kesibukan memasak. Aku menarik napas, sebelum memutuskan memberi jawaban.

            "Dia atasanku di kantor, Mak."

            "Bagaimana bisa ia mengikutimu pulang ke kampung?"

            "Dia ingin mengenal dari dekat keindahan alam Minangkabau yang sering tersiar, Mak." Aku mencuri pandang wajah perempuan paruh baya itu. Kupikir, ia tak begitu saja percaya dengan kata-kataku.

            "Semoga saja tak ada kedekatan lebih di antara kalian. Amak tak ingin bermenantu orang asing dan mualaf pula. Terlalu sulit bagi keluarga besar kita, juga dirinya, untuk saling beradaptasi. Akan banyak hal-hal yang harus ditoleransi. Lagipula, bagaimana kalau dia membawamu ke luar negeri? Bagaimana cara kami menemuimu? Seharusnya seorang perempuan itu mencari lelaki yang lebih tinggi pemahaman agamanya dan lebih baik ibadahnya. Agar bisa membimbingmu.." Aku menunduk sedemikian rupa, hingga Amak tak dapat mengintai sepasang mataku yang mulai berkaca-kaca.

            "Amak ingin kau meneruskan persahabatanmu dengan anak Tuanku Kayo dan menaikkan statusnya menjadi lebih serius lagi di kemudian hari. Kau mengenalnya dengan baik, begitu pula kedua keluarga. Pendidikannya tinggi, juga sangat menjaga kesantunan prilaku dan tutur kata. Ia seorang dokter berprestasi tapi tetap ingin mengabdi di kampung. Bukankah itu penyingkap kebaikan hatinya?"

            Aku menggigit bibir. Pupus sudah, Tuan.

            "Aku harus mengatakannya malam ini juga. Selepas Maghrib." Lelaki itu mengucapkan kalimatnya dengan sangat tegas, seolah tak ingin ditawar.

            "Jangan. Biar aku dulu yang menyampaikannya."

            "Tidak. Ini sudah di penghujung waktu. Aku tak ingin bermain-main lagi."

            "Tapi..., aku belum siap." Sahutku sedikit gugup.

            "Kau takkan pernah siap." Lelaki itu menepuk bahuku. "Percayalah, apapun akhirnya akan kuterima. Aku ke hotel dulu, ya? Capek." Aku mengangguk sesaat setelah ia berlalu.

            Seusai Magrib, selepas shalat berjama'ah di rumahku yang kau ikuti dengan khusyuk, yang setelahnya kau salam-cium tangan Apak dengan takzim dan kuikuti lewat ujung mata yang gelisah, kau menyulut percik resah menjadi gempa amarah. Ah Tuan, sungguh tak pandai kau menyusun aksara.

            "Pak, Bu, saya ingin melamar Izza sebagai istri. Saya harap Bapak dan Ibu dapat memberikan restu." Empat pasang mata terbelalak, empat bibir ternganga, empat jasad membeku; terpaku.

            Lalu di hitungan menit sesudahnya, kalimat demi kalimat bersahut-sahutan menyerang, membungkam lelaki yang tadi begitu percaya diri membuka percakapan.

            "Tidak! Takkan ada restu turun untuk orang asing yang tak kami kenal." Apak meradang. Kalimatnya tak lagi bersusun mahkota etika.

            "Anda hanyalah atasan Izza, berhak memiliki kecakapan dan ilmu Izza dalam pekerjaan. Tapi tak kami perkenankan memilikinya utuh sempurna."

            "Tapi..."

            "Dengan segala hormat, silakan pergi sekarang juga. Kami tak ingin memperpanjang pembicaraan dengan Anda." Apak mengibas-ngibaskan tangan, seolah mengusir binatang menjijikkan yang haram bertandang. Aku menunduk kian dalam, tak sampai hati melihat lelaki itu kewalahan memunguti harga dirinya.

            "Tapi..."

            "PERGI!!" Gelegar suara Apak mengguncang udara.

            Tiba-tiba lelaki itu berdiri. Ia seperti telah menemukan kembali kekuatan jiwanya. Ia melirikku sekilas.

            "Tidak. Saya tetap akan menjadikan Izza sebagai istri, dengan atau tanpa izin keluarga di sini," ujarnya tegas. Wajah Apak merah padam, Amak memegangi dadanya yang turun naik dengan cepat, Uni Lana melayangkan pandang melecehkan.

            "Izza telah dijodohkan dengan teman sekampungnya." Lelaki itu menggeleng sinis.

            "Hanya saya yang akan menerima Izza dengan sepenuh jiwa."

            "Sombong sekali. Kau pikir, karena kau sudah mualaf, kau cocok untuk anakku? Tidak!!"

            "Takkan ada yang dapat menerima Izza selain saya."

            "Keterlaluan. Pergi, Kamu!!"

            "Saya bersungguh-sungguh. Karena ..." Aku menunggu lanjutan kalimat itu dengan jantung berdegup liar, lepas kendali. Kedua tanganku gemetar. Ya, Allah..

            "Cukuuup!!" Apak hilang kesabaran. Ia berdiri dengan sepasang tangan berkacak di pinggang.     

            Apak murka selayaknya singa terluka. Seorang asing berani menantangnya di rumah sendiri?  Orang asing yang selama empat hari mereka jamu selayaknya tamu mulia.

            Tuan, seperti inilah duga yang terhampar di depan mata, jauh sebelum kaki melangkah di bandara. Jauh sebelum kau putuskan untuk melamarku sendirian, tanpa iringan keluarga besar. Seperti inilah, Tuan.

            "Izza, kau harus mengatakannya." Lelaki itu mengucapkan kalimat terakhirnya sebelum menghilang di balik pintu. Aku diam dan menunduk. Tak sanggup melaksanakan keinginan untuk ikut berdiri, mengantarkan kepergiannya. Sepasang mata Apak mengawasiku.

            "Adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan, Nak?" Pertanyaan Apak itu tertuju padaku. Aku gugup, linglung.

            "Apa sebenarnya yang dimaksudkan lelaki itu dengan kalimat hanya dia yang dapat menerimamu?" Apak semakin mencecar.

            "Apa..."

            "Sudahlah, Da. Biarkan Izza tenang dulu. Uda juga harus menenangkan diri juga, menghanyutkan amarah." Kalimat Amak menyelamatkanku. Sungguh, ia sebenar-benar seorang ibu.

            Di kamar, di atas pembaringan yang gerah, pikiranku menerawang jauh. Apa yang harus kulakukan? Menuruti kehendak orangtua? Sungguhkah itu akan membuka pintu surga untukku? Bagaimana kalau noda itu terungkap setelahnya? Takkah murka berkali ganda dan coreng malu akan ditanggungkan keluarga? Lantas, bila berkukuh dengannya, akan seperti apa azab anak durhaka yang harus diterima?

            Seandainya saja tak ada peristiwa keji yang kukutuk para pelakunya demi langit dan bumi itu, tentu takkan serumit ini kisah harus disimpulkan. Benarkan, Tuan? Juga takkan pernah kita bertemu dan jatuh hati setelahnya.

            "Aku mencintaimu, Izza. Aku serius ingin menjadikanmu sebagai pendamping hidupku."

            "Aku bukan perempuan berharga lagi."

            "Bagiku sama saja. Kau tetap perempuan yang suci dan terhormat."

            "Suci?" Aku melempar senyum sinis.

            "Pemerkosaan itu tak terjadi atas kehendakmu, Izza. Cobalah berdamai dengan pikiranmu."

            "Apapun, sama saja untukku."

            "Tidak. Mereka yang merampasnya secara paksa. Itu berbeda."

            "Seharusnya saat itu aku meloncat saja dari bus terkutuk itu."

            "Jangan menyesali apa yang telah terjadi. Takdir buruk bukan untuk menenggelamkan kita dalam penyesalan, putus asa dan sedih berlama-lama. La tahzan, Izza. Ikhlaskan semuanya. Insya Allah, aku akan berada di sisimu, sepanjang kau menginginkan."

            Airmata mengalir perlahan di pipiku. Kalimat-kalimatmu, Tuan, sungguhkah tak terlampau berlebihan? Akankah kau mampu menjadi imamku kelak? Jika pun iya, sepertinya perjalanan kita masih teramat panjang untuk saling bergenggaman tangan.

            Lamat-lamat suara Amak yang melantunkan ayat-ayat Qur'an dari kamar sebelah, menyusup lembut ke telinga dan hatiku. Sejuk.., sejuk sekali. Airmata semakin deras mengalir, hingga tubuhku berguncang menahan isak. Seketika ingatanku terjaga, aku belum sholat. Cepat aku bangkit dan keluar dari kamar, menuju kamar mandi. Air wudhu yang dingin menyirami hati dan pikiranku yang resah. Selepas sholat dan untai do'a yang cukup panjang, mendadak segala resah itu lenyap. Sirna tak berbekas.

            Kabut mulai menepi. Matahari semakin meninggi. Kemolekan Maninjau nun di bawah sana begitu memesona. Menghampar danau seumpama lukisan dengan sekeliling bukit-bukit berantai. Dahan-dahan muda bergoyang-goyang menyembunyikan jejak lompatan kera yang berayun-ayun sepanjang tebing di bibir kelok. Sepanjang ingatan yang terpampang selama tegakku, kini harus dituntaskan. Hapus. Seiring bayang pesawat udara yang melintas di depan mata. Kamu benar, Tuan. Kita harus ikhlas. Apapun akhirnya, kemanapun berlabuhnya, hanya DIA yang menentukan. Hanya DIA. Aku melangkah gontai, menuruni kelok tambuah. "Kelok 45.."

Share This Post: