BERSAMA BUNDA

Semua yang di depan mataku saat ini aku harap bukan hamparan penyesalan atas jejak yang ditinggalkan. Lembaran lalu yang membayangiku hari ini, tetap saja mengikuti langkahku, apakah ini masaku atau karena aku yang tak bisa menerima tentang berbagai hal yang lalu. Aku selalu berfikir untuk melupakan berbagai hal, berharap aku tak menjumpainya lagi luka itu. Bukan tentang kemaren dan lusa saja, hingga tahun-tahun sebelumnya aku sangat ingin melupakan banyak hal. Jika aku lupa aku berharap bertemu dengan kebahagian itu dan berkawan dengan tawa. Aku adalah Kintan, dengan usia 20 Tahun semester 6 di bangku kuliah. Dengan bertemankan rasa kecewa yang aku buat tawa terlihat baik untukku. Sebelum bertemu dengan mereka, semuanya terlihat diam dihidupku dan tak ada tawa yang mengisi di luar rumahku.

 

Mereka, Gadis dan Nadin yang selalu seiring tak pernah terpisah. Saat mengikuti kelas mata kuliah umum aku ternyata mengambil kelas yang sama dengan mereka. Saat itu dosen meminta agar dalam mengerjakan tugas dibagi menjadi dalam bentuk kelompok, dan dalam satu kelompok terdiri atas tiga orang. Tanpa disengaja aku duduk tepat di depan Gadis, dia langsung menghampiri dan membujuk agar aku satu kelompok denganya dan Nadin. Sejenak aku terdiam memandang Gadis karena untuk pertama kalinya seseorang menghampiriku agar bergabung dengannya, tidak hanya terhenti begitu saja Nadin juga menghampiri tempat dudukku  dan mengulangi perkataan yang sama dengan yang diucapkan Gadis.

Mereka menghentikan tatapanku, dan tersenyum memandangku yang terlihat bingung seketika itu, dan aku menganggukkan ajakan mereka pelan. Setelah usai kelas hari itu, Nadin dan Gadis sudah menungguku keluar dari kelas, dan tanpa basa-basi Gadis langsung bertanya kapan jadwal untuk mengerjakan tugas kelompok tersebut, awalnya aku sedikit ragu untuk menentukan waktu karena setiap usai kuliah Bunda selalu meminta ntuk pulang kerumah. Karena hal itu masih membekaskan luka dihati Bunda, dan hingga kami memilih untuk menutup diri dalam banyak hal. Aku tersenyum sejenak melihat Gadis dan Nadin dan meminta nomor handphone mereka agar dapat menghubungi mereka kembali, setelah itu aku bergegas meninggalkan kampus agar segera sampai di rumah.

 

Benar seperti yang selalu ku lihat, Bunda telah berdiri di depan rumah menunggu kepulangan ku setiap harinya, dengan wajah tersenyum dan tergambar raut kekhawatiran. Aku menghampiri Bunda tersenyum, dan mejelaskan keterlambatanku hari itu. Sejenak Bunda terlihat tenang, namun seperti ada yang terfikirkan oleh beliau aku tahu raut itu. Bunda sepertinya mengkhawatirkanku. Benar saja bunda kembali menghampiriku menanyakan banyak hal mengenai Nadin dan Gadis. Aku sangat bersemangat saat menceritakan berbagai hal menegenai Nadin dan Gadis, mereka adalah dua sekawan yang selalu bersemangat, ceria dan baik kepada siapapun. Bunda tersenyum namun tetap saja rautnya sama, khawatir kepadaku. Usai bercerita aku memeluk bunda erat, aku sangat memahami kekhawatiran Bunda, meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu 10 Tahun lamanya. Bukan hanya Bunda, aku masih mengingatnya namun jika aku juga terpuruk dengan keadaa itu bagaimana dengan Bunda. Aku satu-satunya keluarga yang dimiliki Bunda saat ini, dan aku selalu belajar memahami hal-hal yang dikhawatirkan Bunda.

 

Keesokan harinya aku menghampiri Nadin dan Gadis, untuk membicarakan jadwal mengerjakan tugas kelompok sepulang kuliah. Tapi satu hal yang membuatku takjup setelah waktu yang sangat lama, Bunda memintaku agar membawa Nadin dan Gadis ke rumah untuk menyelesaikan tugas. Aku harap Bunda juga menyukai keberadaan mereka, aku ingin Bunda menerima keberadaan orang-orang disekitarku dan memafkan yang lalu. Dalam perjalanan menuju rumah, Nadin dan Gadis bertanya tentang banyak hal, dan tak berhenti aku tertawa dengan kehebohan yang yang selalu mereka keluarkan. Tak terasa sudah sampai didepaan rumah Nadin dan Gadis, Bunda menyambut kedatangan kami sore itu di depan pintu rumah. Nadin dan Gadis menatap Bunda dengan tersenyum dan memandangiku bertanya itu Bunda kamu ya Kintan, aku mengangguk.

 

Setibanya dihadapan Bunda mereka menyalami Bunda dengan penuh rasa hormat seperti orang tua sendiri. Bunda mempersilahkan mereka masuk dan duduk, lalu Bunda berjalan menuju dapur. Aku langsung menghampiri Bunda dan menatap matanya, Bunda tersenyum terlihat lebih tenang setelah bertemu Nadin dan Gadis, semoga saja Bunda tidak khawatir berlebihan kembali. Tidak perlu berlama-lama, aku dan Bunda segera ke luar dapur menghammpiri Nadin dan Gadis yang sudah duduk di ruang tengah. Setelah menaruh teh dan cemilan Bunda meninggalkan kami untuk mengerjakan tugas. Aku bersama Gadis dan Nadin mulai membagi tugas dan membuka laptop masing-masing, hingga kami terlalu sibuk dan lupa waktu. Karena sudah waktunnya makan malam, Bunda menghampiri kami, agar Nadin dan Gadis makan malam dirumah bersama Aku dan Bunda. Gadis dan Nadin mengangguk semangat, hingga membuat Bunda tertawa, tentu aku sangat rindu dengan raut itu. Usai makan malam itu, Nadin dan Gadis langsung berpamitan untuk pulang karena takut pulang terlalu larut.

 

Keesokan harinya, Nadin dan Gadis menghampiriku mengucapkan banyak terimakasih atas makan malam itu. Aku terheran, karena itu hanya makan malam biasa dan tidak ada hal spesial. Namun yang membuatku bahagia malam itu adalah untuk yang pertama kalinya setelah sepuluh tahun lamanya Bunda yang tidak pernah menyambut kedatangan temanku, beliau menjadi sangat berbeda hari itu.  Kembali untuk ucapan terimakasih yang dicupakan Nadin dan Gadis, aku tak mengira atas apa yang aku dengar hari itu. Aku tak pernah menyangka begitu sulit untuk aku percaya jika melihat kecerian yang selalu mereka perlihatkan selama ini. Nadin adalah gadis cantik yang selalu tersenyum ini memiliki kisah yang tak jauh berbeda denganku. Benar, kita sama-sama memiliki orang tua yang tidak bersama lagi. Ayahku yang memilih untuk meninggalkan aku dan Bunda untuk wanita lain begitu juga dengan Ayah Nadin.  Sedangkan Gadis memiliki keluarga yang utuh, namun tidak pernah memiliki waktu untuk berkumpul dan orang tua yang tidak memiliki cukup waktu untuknya. Aku kagum dengan kecerian yang selalu mereka berikan, tidak pernah terlihat murung meskipun tak semanis itu yang mereka alami.

 

Sepulang kampus Bunda membukakan pintu rumah, dan selalu tersenyum menyambut kepulanganku. Bunda berjalan menuju meja makan, saat sedang menyantap makan siang itu Bunda memulai percakapan dengan menanyakan berbagai hal mengenai Nadin dan Gadis. Bunda tersenyum saat aku menceritakan semua hal mengenai mereka dan kagum dengan kebesaran hati yang dimiliki Nadin da Gadis. Usai makan siang, Bunda menghampiriku ke kamar agar siap-siap nanti sore untuk makan malam diluar. Seketika itu juga Kintan merasa sangat bahagia, tapi sedikit aneh baginya.

 

Bunda mengetuk pintu kamar, sebentar lagi Kintan selesai Bunda, sautku. Sembari bersiap-siap aku masih merasakan ada hal yang Bunda sembunyikan dariku. Saat akan keluar kamar terdengar klakson Taxi yang menjemput, aku segera bergegas keluar kamar. Saat menghampiri Bunda tanganku digengam erat dan helusan tangan Bunda sangat lemput menyapu rambut yang menutupi pipiku. Benar saja Bunda menutupi sesuatu aku yakin dengan perasaanku. Saat memasuki restaurant dari kejuhan aku seperti mengenali sosok yang sudah lama tak kujumpai, seketika itu juga aku langsung menatap Bunda. Saat hendak melangkah mundur, Bunda dengan erat menggandeng tangan agar aku melanjutkan langkahku untuk maju. Aku dan Bunda berjalan mendekati meja mereka, dia mempersilahkan aku dan Bunda duduk. Kenapa harus dia, aku menatap Bunda yang tetap ramah dan tersenyum kepada mereka. Aku mencoba untuk tetap tenang, lama ku tatap wajah mereka menunggu apa yang akan mereka jelaskan setelah 10 tahun yang lalu.

 

Laki-laki itu memulai percakapan mengawali dengan mengucapkan maaf kepada Bunda, aku melihat reaksi yang Bunda, Bunda tersenyum dan memberikan maaf kepada mereka dan wanita yang duduk disebelahnya menunduk diam. Perlahan dia mengangkat kepalanya mengucapkan hal yang sama kepada Aku dan Bunda. Bunda menatapku, memberikan kesempatan untukku ikut berbicara. Aku memilik permisi ke toilet sebelum melanjutkan pembicaraan itu, dan meninggalkan mereka cukup lama di meja makan. Karena terlalu lama, Bunda mencariku ke toilet, dan mengatakan agar aku bisa hidup lebih bahagia dengannya dengan kita harus saling menerima dan memafkan atas persoalan yang telah terjadi. Aku menatap mata Bunda, dan bercermin kedalam diriku sendiri mengingat apa yang selama ini telah aku jalani bersama-sama Bunda dan tentang berbagai hal yang sudah kita lalui. Jika yang terjadi 10 tahun yang lalu Ayah dan wanita itu menyakiti hati Bunda, aku percaya Tuhan telah menyiapkan kebaikan dan kebahagian untukku dan Bunda. Ternyata akulah selama ini yang belum siap dengan segala kondisi yang terjadi dan Bunda jauh lebih kuat dan memaafkan luka yang telah mereka perbuat.

 

Bagaimana sahabat terdekat yang dulu pernah dia percaya telah melakukan hal buruk terhadap dirinya. Aku selama ini salah, Bunda hanya takut aku terluka dan terlalu berhati-hati terhadap kehidupan pribadiku yang sudah perlahan beranjak dewasa. Jika ini sikap yang Bunda ambil malan ini, aku yakin Bunda sudah mempercayakan keputusan yang bijak akan aku lakukan malam ini. Sepertinya malam ini adalah awal yang baru kembali untukku dan Bunda. Kita berdua kembali ke meja makan, dan wanita itu mengulangi permintaan maafnya. Aku tersenyum melihat Bunda, iya aku menerima permintaan maaf mereka. Kami kembali melanjutkan makan malam dan setelahnya saling berpamitan. Dalam perjalanan pulang aku tak henti memeluk Bunda, karena aku telah diajarkan tentang banyak hal terutama ketulusan untuk memafkan. Aku harap hari-hari selanjutnya aku dan Bunda tetap sebahagia ini.

Share This Post: