MENGENAL SUNAH PENAMPILAN RASUL
Sudah menjadi suatu kewajiban bagi kita yaitu Ummat Islam, Ummat akhir zaman, Khairul Ummah untuk senantiasa mengikuti cara Rasul-Nya, sebab pengakuan Syahadatain “Laa ilaha illaallah wa Muhammadur-Rasulullah” tidak hanya menyempurnakan Syahadatul-Uluhiyyah yang direfleksikan melalui amal ibadah ritual semata, tetapi kesempurnaannya adalah dengan menyempurnakan Syahadatun-Nubuwah, yaitu melalui mengikuti cara kehidupan Utusan-Nya yang direfleksikan melalui cara berfikir, kerisauan, jalan hidup, dan cara hidup Rasulullah saw., menafikan cara hidup selain cara hidup Rasulullah saw. dan meyaqini bahwa kejayaan ada di dalam mengikuti cara Rasulullah saw.
Firman Allah ta’ala.:”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian, yaitu orang yang mengharap mengharap rahmat Allah ta’ala dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut nama Allah ta’ala.” (Al-Ahzab : 21).
Imam Al-Qurthubi rah.a. berkata, “Uswah adalah menjadikan Nabi saw. sebagai contoh untuk kita ikuti, maka ikutilah Rasulullah saw. dalam seluruh gerak dan keadaannya.”
Ada perbedaan tentang mengikuti Rasulullah saw., apakah itu sesuatu yang Wajib atau Mustahab (disukai)? Ada dua pendapat tentang hal itu, pertama, hal itu adalah Wajib sehingga ada Dalil yang menguatkan hukumnya menjadi Mustahab. Kedua, hal itu adalah Mustahab sehingga ada dalil yang menguatkan hukumnya menjadi Wajib. Dan mengikuti Rasulullah saw. itu menjadi Wajib ketika di dalam perkara Agama, dan menjadi Mustahab di dalam perkara Dunia.” (Tafsir Al-Qurthubi. Imam Al-Qurthubi rah.a.)
Subhanallah, mengikuti cara Rasulullah saw. dalam setiap perkara akan mendatangkan rahmat-Nya, Cinta dari-Nya, sangat berbeda ketika kita ikuti cara hidup selain dari Utusan-Nya, mengikuti cara selainnya tidak ada jaminan mendapatkan Rahmat-Nya dan cinta-Nya, tetapi akan mendapat perkara sebaliknya, Nau’dzubillah.
Al-Qadli ‘Iyyadl rah.a. mengatakan, ”Dan tafsir dari surat Al-Fathir : 10, “…Dan amal shalih yang dinaikan” adalah amal yang mengikuti cara Rasulullah saw.”(Kitab Asy-Syifa). Subhanallah, hanya amalan yang sesuai dengan cara Rasulullah saw. saja yang dijamin diterima oleh Allah ta’ala.
Syaikh Nawawi rah.a. menafsirkan Firman Allah ta’ala. “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah...” (Al-Hasyr : 7). “Maka sesungguhnya wajib menta’ati seluruh perintah Rasulullah saw. karena beliau saw. tidak berbicara/ber’amal dari hawa nafsunya dan setiap perintah darinya adalah perintah dari Allah ta’ala. Ayat tersebut memang khusus hanya ditujukan untuk masalah harta rampasan perang tetapi semua perintah Nabi saw. termasuk kedalamnya juga.” (Tafsir Murah Labid).
Allah ta’ala. berfirman: ”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (Al-An’am : 153).
Rasulullah saw. bersabda, ”Apa saja yang diperintahkan olehku maka hendaklah kalian kerjakan dan apa yang aku larang maka tinggalkanlah.” (Sunan Ibnu Majaah).
Syaikh Muhammad Al-hadad rah.a. berkata, ”Hendaklah engkau menjaga adab-adab sunnah baik secara dzahir maupun bathin, ’adat atau pun ibadat. Sempurnakanlah olehmu mengikuti cara hidup Rasulullah saw.
"Jika engkau ingin termasuk ke dalam golongan para Shidiqiin maka janganlah mengamalkan ‘adat apalagi dalam ‘ibadah, sebelum engkau mengetahui apakah hal itu sunnah Nabi saw. atau bukan, atau sesuatu yang diamalkan oleh para shahabatnya yang mulia atau para ‘ulama Salaf As-Shalih, jika tidak ada sumber dasar amalannya maka tinggalkanlah.
"Dan hendaklah diketahui bagaimana tata cara dari pada amalan tersebut setelah di ketahui maka kerjakanlah.” (Risalatul-Mu’awanah).
Masya Allah, sebelum mengamalkan sesuatu hendaknya kita datang bermudzakarah dengan ‘ulama sehingga kita mengetahui dasar amalan yang kita amalkan dan hal ini akan menjauhkan kita dari taqlidul ‘ama, yaitu mengikuti amalan dengan tanpa didasari ilmu yang benar dan dalil yang kuat tanpa mengetahui asal dari hukum mengamalkannya, sebab bagaimana kita akan mendapat manfa’at dari suatu amalan jika tidak mengetahui caranya yang sesuai dengan cara Rasulullah saw. dan didasari Dalil yang mendukung.
‘Abdullah ibnu Mubarak rah.a. berkata, "Sanad (sumber rujukan) adalah bagian daripada Agama, jika tidak bersanad maka pastilah seseorang akan mengamalkan agama sekehendaknya sendiri.”
Wahai saudaraku, kemana sanad amalan agama kita? Kemana sanad cara fikir kita? Kemana sanad cara hidup kita? Yang jelas hanya bersanad kepada Rasulullah saw. melalui para ‘ulama hingga pada para sahabat ra.hum. yang mulia.
***
Diriwayatkan dari Abu Dawud As Sajastani rah.a., "Ada seseorang yang ketika itu mendengar hadits Rasulullah saw. “Sesungguhnya malaikat menghamparkan sayapnya karena rela di injak-injak oleh penuntut ‘ilmu, rela dengan apa yang dikerjakannya (menuntut ‘ilmu)”, kemudian dia menancapkan paku besi di ujung belakang sandalnya dan berkata: ”Aku akan robekan sayap malaikat itu”, tetapi kemudian kakinyalah yang terluka parah karena paku itu.”
Imam Nawawi rah.a. menceritakan, yang riwayatnya dari Aba Yahya Zakarya bin Yahya As-Sajaa rah.a., “Suatu hari kami di Bashrah berjalan di jalan sempit untuk menemui Ahli hadits, aku berjalan cepat, dan bersama kami ada seorang lelaki yang suka menyepelekan sunnah, maka seseorang berkata kepadanya, ”Angkat kaki kamu dari sayap malaikat ini, jangan kau patahkan sayap malaikat dengan langkah kakimu yang seperti orang menghinakan sunnah”, maka serta merta kaki orang yang suka menyepelekan sunnah itu tidak bisa digerakan kemudian kakinya itu lepas dari badannya.”
Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il rah.a. katanya, aku membaca kisah seorang ahli bid’ah yang ketika itu dia membaca hadits, “Jika seseorang di antara kalian bangun tidur maka janganlah mencidukkan tangannya ke dalam bejana sehingga dia mencuci tangannya terlebih dulu karena dia tidak mengetahui menyentuh apa ketika dia tertidur”, kemudian orang tadi mengatakan “Aku tahu ketika aku tidur, tanganku berada di atas kasur”, maka keesokan harinya didapati tangannya menembus duburnya hingga pergelangannya.”
Imam Nawawi rah.a. menceritakan, “Ada seorang yang sangat membenci Ahli kebaikan, dan dia pun memiliki seorang anak yang berkelakuan sama persis dengan bapaknya, suatu hari anaknya menemui orang shalih yang di tangannya ada sebatang siwak, kemudian anak itu merebutnya dan ditusukan siwaknya itu ke duburnya sebagai tanda menghinakan siwak tersebut, dua hari kemudian anak tersebut mati dengan duburnya tertembus sesuatu benda yang panjang.” (Kitab Bustan Al-’Arifin).
Dari Abi Muslim rah.a., katanya, “Ada seorang pemuda yang makan dengan tangan kiri di samping Rasulullah saw., kemudian Rasulullah saw. bersabda, ”Makanlah dengan tangan kanan”, pemuda itu menjawab, ”Aku tidak mampu”, Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak ada yang membuatmu tidak mampu kecuali perasaan sombongmu”, maka tangannya mendadak menjadi lumpuh. (Hr.Muslim).
Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rah.a. menceritakan, telah di kabarkan kepada kami dari Muhammad bin ‘Ali bin Ja’far, sesungguhnya Ya’qub bin Bukhtan berkata, Ditanya Ahmad tentang berbekam pada hari sabtu dan hari rabu, apakah hal itu dimakruhkan?, dan berkata Ahmad, “Telah sampai berita kepadaku bahwa ada seorang laki-laki berbekam pada hari rabu lalu ia terserang penyakit belang, maka aku katakan kepadanya, “Karena sebab engkau menyepelekan hadits”, ia pun berkata, “Benar” (Kitab Thib An-Nabawi. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rah.a.)
Imam Ibnu Abi Ad-Dunya rah.a. menceritakan, “Ada seorang pemuda bertanya kepada Abu Ishak Al-Firazi rah.a.,”Wahai syaikh, apakah orang yang suka membongkar kuburan dan ia curi kain kafannya, jika ia bertaubat, taubatnya akan diterima?”, Abu Ishak Al-Firazi rah.a. pun menjawab, “Ya, taubatnya akan diterima jika ia benar dalam pertaubatannya.”
Maka pemuda itu berkata, “Akulah pencuri kain kafan itu, dan kenapa aku banyak melihat mayat yang wajahnya berpaling dari arah Qiblat? Abu Ishak Al-Firazi rah.a. tidak dapat menjawab pertanyaan itu, lalu beliau pun menulis surat kepada Imam Al-Auza’ii rah.a. menanyakan hal itu, Imam Al-Auza’ii rah.a. pun membalas suratnya yang berbunyi, “Allah ta’ala. akan menerima taubat pemuda itu jika ia benar dalam taubatnya, adapun banyak mayat yang wajahnya berpaling dari arah Qiblat (tanda orang islam yang mati dalam keadaan kafir.pen), mereka adalah satu kaum yang mati dalam meninggalkan Sunnah Nabi-Nya”. (Kitab Ar-Ruh. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rah.a.)
KISAH CINTA YANG SEJATI
“Sesungguhnya orang yang mencintai akan menta’ati yang dicintainya.”
Saudaraku, kisah cinta ini sungguh tak akan pernah terkalahkan dengan cerita roman murahan seperti kisah cinta Romeo dan Juliet bahkan segila cerita cinta fiktif Majnun kepada Laila, tiada cinta sejati yang seperti cinta para pecinta Utusan-Nya. Cinta yang mendalam, yang mengalahkan segala cinta. Cinta Rasul adalah sebuah pernyataan cinta yang tulus kepada Allah ta’ala.
Allah ta’ala. berfirman: ”Katakanlah: ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali-‘Imran : 31)
Berkata Imam Al-Azhari rah.a., “Kecintaan hamba kepada Allah ta’ala. dan Rasul-Nya adalah senantiasa ta’at dan mengikuti apa yang menjadi perintah keduanya. (Tafsir Al-Qurthubi, Imam Al-Qurthubi rah.a.)
Rasulullah saw. bersabda, ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih kalian cintai daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.” (Mutaffaq ‘alaihi).
Al-Qadli ‘Iyyadl rah.a. berkata, ”Tentang ma’na haqiqat cinta adalah senantiasa siap menolongnya, mengikuti segala apa yang Rasulullah saw. amalkan secara total dan selalu ada ikatan yang terjalin dengan kuat kepadanya serta memiliki rasa takut akan mengingkarinya, dan dikatakan juga, ”Orang yang cinta akan senantiasa menyebut namanya.”. Dan dikatakan lagi, ”Selalu mendahulukan yang dicinta di atas perkara apapun.” (Kitab Asy-Syifa).
Kecintaan Ibnu ‘Umar ra.
Dari ‘Abdurrahman bin Sa’ad ra. katanya, ”Pernah aku berkunjung ke rumah Ibnu ‘Umar ra. Tiba-tiba kakinya kesemutan, tanyaku, ”Wahai Abu ‘Abdurrahman, kenapa kakimu?” jawabnya, ”Kakiku kesemutan.” Kataku, ”Sebutlah nama yang orang yang engkau paling cintai. ”Maka Ibnu ‘Umar menyebut, ”Wahai Muhammad.” maka seketika sembuhlah kesemutannya.” (Hr. Ibnu Sa’ad).
Subhanallah, cinta sejati adalah obat dari segala obat.
Dari Nafi’ ra., bahwa Ibnu ‘Umar ra. senantiasa mengikuti jejak Rasulullah saw.. Ia shalat di setiap tempat yang Rasulullah saw. shalat di tempat itu, sehingga ada satu pohon yang Rasulullah saw. pernah berteduh di bawahnya, Ibnu ‘Umar ra. selalu menyiram pohon itu agar selalu subur sehingga bisa selalu berteduh di bawah pohon tersebut setiap saat.” (Hr. Ibnu Asakir).
Percayalah bahwa pecinta pasti selalu ingin mengenang masa-masa indahnya bersama kekasih. Dari Nafi’ ra., bahwa Ibnu ‘Umar ra. pernah bepergian, ketika di jalan ia menundukan kepala tunggangannya seraya berkata, ”Andaikan telapak untaku dapat menginjak bekas telapak kaki unta Rasululllah saw.” (Hr. Abu Nu’aim. Al-Hilyah).
Dari Asim Al-Ahwal ra. dari seorang sahabat ra., katanya, “Tidak seorang pun yang melihat kelakuan Ibnu ‘Umar ra., kecuali ia akan mengira bahwa Ibnu ‘Umar ra. gila karena suka meniru setiap kelakuan Rasulullah saw.” (Hr. Ibnu Sa’ad)
Kecintaan Zaid Bin Datsinah ra.
Disebutkan bahwa Zaid bin Datsinah ra. ditanya oleh abu sufyan ketika akan dihukum mati. ”Wahai Zaid, apakah kamu mau jika tempatmu ini ditukar dengan Muhammad (saw.) dan engkau di kembalikan ke keluargamu?” Zaid ra. menjawab, ”Demi Allah, sedikit pun aku tidak rela sekiranya ada satu duri yang menyakiti Muhammad saw. sedangkan aku berada di tengah-tengah keluargaku”, Abu Sufyan menjawab, ”Sungguh aku tidak pernah melihat pemimpin yang paling dicintai oleh anak buahnya selain Muhammad.”
Masya Allah, cinta sejati, sekalipun nyawa akan dikorbankan untuk persembahan kekasih sejati, yakni Rasulullah saw.
Perilaku Qatadah Bin Nu’man ra.
Dari Qatadah bin Nu’man ra., katanya, ”Telah dihadiahkan kepada Rasulullah saw. sebuah busur. Kemudian beliau saw. memberikannya kepadaku pada hari Uhud. Aku gunakan busur itu untuk melemparkan anak-anak panahku dihadapan Rasulullah saw., sehingga beliau saw. selamat. Dan saya tetap dihadapan beliau saw. Setiap ada anak panah musuh yang mengarah kepada wajah beliau saw., maka aku condongkan wajahku untuk melindunginya.” (Hr. At-Thabrani).
Perilaku Abu Thalhah ra.
Dari Anas ra. berkata, ”Pada hari peperangan Uhud, Abu Thalhah ra. bertempur dihadapan Rasulullah saw. sehingga beliau saw. telindungi di belakangnya. Dan jika Abu Thalhah ra. memanah maka Rasulullah saw. akan mengangkat kepalanya untuk melihat kemanakah anak panah itu mengenai sasarannya dan melihat hal itu Abu Thalhah ra. mengangkat dadanya dan berkata kepada beliau saw., ”Wahai Rasulullah, dengan nyawa bapak dan ibuku, jangan sampai engkau terkena anak panah, biarkan dadaku berada di atas dadamu.” Dan Abu Thalhah ra. terus berdiri di hadapan Rasulullah saw. menjadikan dirinya sebagai tameng dan tembok bagi Rasulullah saw. dan berkata “Aku kuat, ya Rasulullah saw., gunakan aku untuk keperluanmu dan suruhlah aku sekehendakmu.” (Al-Bidayah).
“...dan untuk wanita seperti Laila, seorang lelaki dapat membunuh dirinya sendiri dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis.”
"Setiap orang mengaku berhubungan dengan Laila …Sedangkan Laila tidak pernah mengakui hal itu bagi mereka.”
Wahai ummat yang mengaku cinta Allah ta’ala. dan Rasul-Nya. Sudahkah tanda pecinta sejati ada dalam diri? mudah saja sang pecinta mengakui cinta tetapi apakah yang dicinta mengakui cintanya? Bukankah menyakitkan jika cinta kita bertepuk sebelah tangan? Maka tanda cinta inilah yang harus ada dalam diri kita.
Lihat para pecinta sepak bola, mereka memakai pakaian seperti sebagaimana pakaian yang yang dipakai pemain kesayangannya. Seorang pecinta musik maka dia akan meniru semua yang dipakai oleh artis kecintaannya. Lihat, pemuda-pemudi muslim dari gaya potongan rambut hingga pakaian, mereka habis-habisan mengikuti gaya artis kesayangannya. Subhanallah, seandainya kesenangan dan kecintaannya itu diarahkan kepada cinta kepada Allah ta’ala. dan Rasul-Nya.
Tetapi memang, apapun yang dicintainya maka seorang pasti mengikuti semua yang dilakukan kekasihnya.
Dan kekasih kita adalah Rasulullah saw., maka kita tiru semua yang dilakukan Rasulullah saw.
“Di antara tanda tanda cinta engkau melihat dari kehendaknya patuh akan kekasihnya walaupun orang mencemoohkan dirinya.”
***
KENALILAH MAKA AKAN MENCINTAI
Tak kenal maka tak sayang mungkin ungkapan ini akan mendekatkan pemahaman kita bahwa untuk mendatangkan cinta haruslah melalui tahapan perkenalan sebab seseorang akan ada rasa mencintai jika dia telah mengenal yang dicintainya itu, begitu juga dengan orang beriman maka sejauh dia kenal kepada Nabi-nya maka sejauh itu pula cinta mengikatnya.
Subhanallah, dikatakan jika keindahan itu satu bulatan dan dibagi dua maka yang setengahnya adalah milik Rasulullah saw. dan yang satu bagian lagi dibagi menjadi dua, satu pertiganya milik Nabi Yusuf as. dan sisanya lagi dibagikan kepada seluruh makhluq sehingga hampir semua ciptaan Allah ta’ala. memiliki keindahan tersendiri yang tidak dimiliki satu sama lain.
Dan ingatlah ketika kisah Nabi Yusuf as. yang sangat rupawan itu, sehingga setiap orang yang melihat wajahnya pastilah kagum sehingga sampai ada orang yang memotong jari tangannya karena terpana melihat keelokan wajah Nabi Yusuf as., tetapi lain lagi dengan Rasulullah saw. karena keindahannya, keelokan yang sempurna dari Yang Maha Sempurna, sehingga orang-orang yang mencintainya rela terpotong-potong seluruh tubuh mereka karena terserap kedalam cinta yang mendalam atas keindahan rupa Rasulullah saw. Wahai saudaraku, kenalilah dan cintailah…
RASULULLAH SAW. LAHIR
Rasulullah saw. dilahirkan pada hari senin, 12 Rabi’ul Awwal, tahun Gajah (570 Masehi) di Makkah Al-Mukarramah, dari kedua orang tua yang Mulia, berasal dari keluarga yang paling terhormat dan paling mulia. Ayah beliau saw. bernama ‘Abdullah bin ‘Abdul Muthalib bin ‘Abdul Manaf bin Qushai. ’Abdul Muthalib sendiri adalah pemimpin kaum dan orang yang di tha’ati, sedangkan ibu beliau saw. bernama Aminah binti Wahab Zahrah. Ibu beliau termasuk orang Quraisy yang paling baik, baik dari segi nasab atau status sosialnya.
Allah ta’ala. menghendaki agar Rasulullah saw. lahir dalam keadaaan yatim. Ayah beliau saw. meninggal dunia saat beliau saw. masih dalam kandungan. Selanjutnya, ibu beliau saw. meningal dunia saat beliau saw. berumur enam tahun. Sepeninggal sang ibu, beliau saw. diasuh oleh kakeknya yang bernama ‘Abdul Muthalib. Tidak lama kemudian sang kakek pun wafat. Namun sebelum wafat kakeknya sempat menitipkannya kepada paman beliau saw., yaitu Abu Thalib, yang kemudian mengasuh beliau saw. hingga dewasa dan mendapat amanah kenabian. Selama fase tersebut penjagaan, pertolongan Allah ta’ala. senantiasa mengiringi beliau saw.
MASA KECIL RASULULLAH SAW.
Di antara kebiasaan orang ‘Arab yang tinggal di kota adalah mencari perempuan-perempuan desa yang mau menyusui anak mereka. Tujuannya adalah untuk menghindari anak-anak mereka dari berbagai macam penyakit yang sering menyerang orang-orang kota, dan agar anak-anak mereka memiliki tubuh yang kuat serta dapat berbahasa ‘Arab dengan fasih. Begitu juga dengan ‘Abdul Muthalib dia berusaha mencari perempuan untuk menyusui cucunya, dan dia pun berhasil mendapatkan seorang perempuan dari Bani Sa’ad bin Bakar, yang memang dengan sengaja menawarkan jasa menyusui. Namanya adalah Halimah binti Abi Dzu’aib As-Sa’diyah.
Kehadiran Rasulullah saw. di Bani Sa’ad merupakan kedatangan yang membawa banyak keberkahan. Halimah bercerita, ”Kami pulang kerumah kami yang berada di kampung Bani Sa’ad, daerah yang menurut pengetahuanku, tidak ada perkampungan di bumi Allah ta’ala. ini yang gersang daripadanya. Ketika kami pulang ke rumah bersama Muhammad (saw.) kecil, tiba-tiba kantung susu kambingku sudah penuh terisi, kami pun segera memerahnya dan meminumnya padahal saat itu tidak ada seorang pun yang dapat memerah susu kambingnya walaupun hanya setetes. Bahkan kaum kami yang hadir saat kami datang berkata kepada para penggembala kambing, ”Cepat kalian gembalakan kambing-kambing itu di tempat di mana pengembala kambing Binti Abi Dzu’aib menggembalakan kambing-kambingnya.”
Muhammad (saw.) kecil tumbuh tidak seperti anak-anak lain. Belum lagi berusia dua tahun, dia sudah menjadi anak yang sempurna.” (Sirah Ibnu Hisyam).
KISAH DIBEDAHNYA DADA RASULULLAH SAW.
Ketika Rasulullah saw. berusia empat atau lima tahun, terjadilah kejadian yang terkenal dengan kejadian Syaq Ash-Shadr (belah dada). Diriwayatkan dari Anas ra. yang menceritakan tentang sosok Rasulullah saw., dia berkata, ”Jibril as. mendekati Rasulullah saw. ketika beliau saw. sedang bermain dengan anak-anak yang lain, tiba-tiba dia menggendong beliau saw., lalu membaringkan beliau saw., kemudian dia membelah dada beliau saw. dan mengeluarkan hati beliau saw.
Dari hati itu jibril as. mengeluarkan segumpal bagian darinya seraya berkata, ”Ini adalah bagian tubuhmu yang dihinggapi oleh syetan, selanjutnya jibril as. mencucinya dengan air zam-zam di dalam mangkuk yang terbuat dari emas, lalu mengembalikannya ketempat semula. Sementara itu anak-anak yang lain berlari menemui sang ibu susu beliau saw.. Mereka berkata, ”Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh. Mereka pun (Halimah dan anak-anak) segera mendatangi tempat kejadian dan menemukan beliau saw. dalam keadaan yang pucat.” (Hr. Muslim).
RASULULLAH SAW. DI DALAM ASUHAN KAKEK
Rasa cinta dalam hati ‘Abdul Muthalib kepada Muhammad kecil itu kian hari kian bertambah. Dia menyayangi beliau saw. dengan luar biasa sayangnya yang belum pernah dia berikan kepada anak-anaknya sendiri. Bahkan dia lebih mengutamakan beliau saw. daripada dirinya mereka.
Ibnu Ishaq ra. berkata, ”Abdul Muthalib memiliki tempat duduk khusus di dekat Ka’bah. Biasanya anak-anaknya duduk di tempat duduk itu sampai ‘Abdul Muthalib keluar dan duduk di sana. Tidak seorang pun dari anak-anak ‘Abdul Muthalib yang berani duduk di tempat duduk khusus itu. Ketika Rasulullah saw. yang masih kecil itu, datang dan duduk di tempat duduk itu, paman-paman beliau saw. (anak-anak ‘Abdul Muthalib) segera menarik beliau saw. agar tidak duduk di tempat duduk itu.
Namun ‘Abdul Muthalib berkata ketika melihat kejadian itu, ”Biarkan anakku duduk di situ. Demi Allah, sebenarnya dia pantas duduk di situ, ”Kemudian ‘Abdul Muthalib menyuruh beliau saw. duduk di tempat duduk itu. Terkadang beliau saw. mengusap punggung ‘Abdul Muthalib dengan tangan beliau saw. Abdul Muthalib pun senang dengan apa yang dilakukan beliau saw. tersebut.”
RASULULLAH SAW. DALAM ASUHAN PAMAN, ABU THALIB
‘Abdul Muthalib meninggal dunia saat Rasulullah saw. berusia delapan tahun. Selanjutnya beliau saw. di asuh oleh paman beliau saw. yang bernama Abu Thalib, berdasarkan wasiat dari ‘Abdul Muthalib yang pernah berwasiat kepada Abu Thalib untuk mengasuh Rasulullah saw. karena Abu Thalib merupakan saudara kandung ‘Abdullah ayah Rasulullah saw.
Abu Thalib sangat mencintai beliau saw.. Dia tidak dapat tidur kecuali di samping beliau. Apabila beliau keluar rumah, Abu Thalib selalu menemaninya. Dia juga merindukan beliau dengan kerinduan yang lebih besar daripada kerinduannya kepada siapa pun. Dalam hal makanan, Abu Thalib telah memberikan perhatian khusus kepada beliau saw. Apabila anggota keluarga Abu Thalib makan bersama tanpa kehadiran beliau saw. atau mereka makan sendiri-sendiri, mereka tidak pernah merasa kenyang.
Namun apa bila mereka makan bersama beliau saw., mereka dapat merasa kenyang. Oleh karena itu, apabila Abu Thalib telah menyiapkan makanan untuk mereka, dia berkata, ”Jangan ada yang makan dulu sebelum sampai anakku (Muhammad saw.) datang.” Apabila Muhammad saw. kecil datang, barulah mereka makan bersama beliau saw., bahkan makanan mereka sering tersisa. Hal itu disebabkan kerena keberkahan dari Allah ta’ala. yang datang melalui beliau saw.. Melihat hal itu, Abu Thalib berkata, ”Sesungguhnya engkau adalah orang yang diberkahi.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra. berkata, ”Anak-anak Abu Thalib memiliki mata yang kurang bagus, sementara Rasulullah saw. memiliki mata yang bagus dan indah. Tadinya ketika Abu Thalib menyiapkan makanan untuk anak-anaknya yang masih kecil, mereka duduk dan mengambil makanan tersebut. Sementara Rasulullah saw. hanya terdiam, tidak mengulurkan tangannya sedikit pun dan tidak mengambil makan bersama-sama mereka. Ketika Abu Thalib melihat hal itu, dia pun memisahkan makanan khusus untuk beliau saw.” (Al-Bidayah wan Nihayah, Imam Ibnu Katsir rah.a.).
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Mulaihamah bin ‘Arfathah ra., bahwa dia berkata, “Aku datang ke Makkah saat penduduknya mengalami musim paceklik. Orang-orang Quraisy berkata, ”Wahai Abu Thalib, lembah menjadi kering dan anak-anak menjadi kelaparan. Oleh karena itu marilah kita meminta hujan, “Abu Thalib pun keluar bersama anak lelaki yang terlihat seperti matahari yang muncul dari balik awan, lalu Abu Thalib mengendongnya dan menempelkan punggungnya ke Ka’bah.
Sementara itu di angkasa tidak ada sepotong awan pun. Namun tiba-tiba awan muncul dari berbagai arah dan tak lama kemudian hujan pun turun hingga lembah kembali berair dan tanah menjadi subur. Abu Thalib pun berkata, ”Anak berkulit putih ini meminta hujan dengan perantaraan wajahnya, kita adalah pelipur anak-anak yatim dan pelindung para janda.”
Anak berkulit putih itu adalah Muhammad saw. (Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, Syaikh ‘Abdullah An-Najdi)
PEMELIHARAAN ALLAH TA’ALA. KETIKA RASULULLAH SAW. MASIH KECIL
Sejak kecil Rasulullah saw. selalu dilindungi, dijaga dan dijauhkan oleh Allah ta’ala. dari kebiasaan-kebiasaan buruk kaum jahiliyyah. Hal ini disebabkan Allah ta’ala. ingin memuliakan beliau saw. dan mengangkatnya sebagai Rasul, beliau saw. pernah menceritakan tentang bagaimana Allah ta’ala. memelihara sewaktu kecil, ”Pada waktu kecil aku bersama-sama anak-anak. Setiap kami mengikuti permainan itu sambil telanjang.
Dia mengambil kain sarungnya, lalu meletakan kain sarung itu di pundaknya agar tidak sakit ketika memikul batu. Saat itu aku datang bersama-sama mereka (untuk mengambil batu) kemudian aku kembali. Tiba-tiba ada seseorang yang memukulku dengan pukulan yang sangat keras, namun aku tidak dapat melihatnya. Orang itu berkata kepadaku, ”Pakailah kembali sarungmu.” Aku pun mengambil kembali sarungku dan memakainya dengan benar. Selanjutnya aku memikul batu di pundakku dengan tanpa beralaskan kain sarung, sehingga di antara teman-temanku hanya akulah yang mengenakan kain sarung.” (Al-Bidayah wan Nihayah).
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah ra. dia berkata, ”Ketika Ka’bah di bangun, Rasulullah saw. ikut memindahkan batu. Ketika itu ‘Abbas ra. berkata kepada beliau saw., ”Letaklah sarungmu di atas pundakmu sebagai alas saat engkau memikul batu.” Beliau saw. segera melakukannya, namun seketika itu juga beliau saw. terjatuh, sementara kedua mata beliau saw. langsung memandang ke arah langit. Tak lama kemudian beliau saw. bersabda, ”Mana sarung ku?” Beliau saw. pun segera mengambil kain sarungnya dan menguatkan ikatannya.”(Hr.Muttafaqu’alaihi).
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., katanya, ”Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ”Aku tidak ingin untuk bersenang-senang dengan kesenangan kaum jahiliyyah kecuali pada dua malam. Namun pada malam itu Allah ta’ala. menjagaku. Pada suatu malam aku pernah berkata kepada seorang pemuda di Makkah (di pingiran kota Makkah) saat kami mengembala kambing milik penduduk Makkah, “Tolong awasi kambingku. Aku ingin masuk ke kota Makkah dan menghabiskan malam di sana seperti yang dilakukan oleh para pemuda Makkah.”
Dia berkata, “Baiklah.” Aku pun masuk ke kota Makkah. Ketika sampai di sebuah pemukiman kota Makkah. Aku mendengar suara musik seruling lalu aku bertanya, “Ada apa ini?” Orang itu pun menjawab, “Ini adalah resepsi pernikahan si fulan dan si fulanah”, Aku pun duduk melihat pagelaran musik itu, namun Allah ta’ala. menutup telingaku dan aku pun tertidur. Demi Allah, aku tidak terbangun kecuali oleh sinar matahari yang menjamah tubuhku.
Selanjutnya aku segera kembali kepada temanku di tempat penggembalaan kambing. Dia bertanya kepadaku, “Apa yang telah kamu lakukan?” Aku menjawab: “Aku tidak melakukan apapun”, Kemudian aku menceritakan apa aku alami. Pada malam berikutnya aku kembali berkata kepada temanku itu, “Tolong awasi kambingku. Aku ingin masuk ke kota Makkah dan menghabiskan malam di sana seperti yang dilakukan oleh para pemuda Makkah.”
Dia pun setuju dan aku segera masuk ke kota Makkah ketika aku memasukinya aku kembali mendengar suara musik seperti pada malam sebelumnya lalu aku bertanya, “Ada apa ini?” Orang itu pun menjawab, “Ini adalah resepsi pernikahan si fulan dan si fulanah”, Aku pun duduk melihat pagelaran musik itu, namun Allah ta’ala. menutup telingaku dan aku pun tertidur. Demi Allah, aku tidak terbangun kecuali oleh sinar matahari yang menjamah tubuhku.
Selanjutnya aku segera kembali ke pada temanku di tempat penggembalaan kambing. Dia bertanya kepadaku, ”Apa yang telah kamu lakukan?”, Aku menjawab, ”Aku tidak melakukan apa pun”, Kemudian aku menceritakan apa yang terjadi. Demi Allah, setelah kejadian pada dua malam itu, aku tidak pernah berkeinginan untuk mengulangi perbuatan itu lagi, hingga akhirnya Allah ta’ala. pun memuliakan aku dengan mengangkatku sebagai Nabi.” (Hr. Bukhari, Ad-Dalail)