Pasar

Pasar pakaian bekas impor belakangan ini diresahkan oleh penegasan yang dikeluarkan oleh Menperindag untuk memberlakukan SK Menperindag Nomor 642/MPP/Kep/9/2002 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dengan lebih tegas. Sementara sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis pakaian bekas ini sudah meluas dan merata ke berbagai daerah di Indonesia. Dan konsumennya nyaris menjangkau seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan bawah, menengah bahkan atas. Hampir di setiap pasar tradisional, kawasan belanja liar di pinggir jalan, pasar kaget bahkan mall, terdapat area khusus yang disediakan bagi para pedagang pakaian bekas impor, termasuk juga di antaranya tas, sepatu, pernak-pernik, karpet, selimut dan sebagainya.

 

Dengan fenomena di atas, wajarlah bila penegasan yang dikeluarkan oleh Menperindag itu, disambut dengan keresahan, baik oleh pedagang yang mencemaskan lenyapnya pendapatan utamanya dan ketidakpastian profesi yang akan digeluti setelahnya, maupun oleh konsumen yang kehilangan akses untuk memperoleh baju-baju bekas bermerek internasional yang biasanya dapat mereka peroleh hanya dengan merogoh kocek sekadarnya. Karena meskipun hanya baju bekas, namun merek-merek ternama yang melekat di baju-baju tersebut dan kualitas bahan yang bagus adalah dua hal yang takkan mereka dapati dengan harga murah.

 

Hal itu ditingkahi lagi dengan isu adanya wabah SARS yang melekat pada baju-baju bekas tersebut, yang berdampak langsung terhadap penurunan daya beli masyarakat.

 

Sebenarnya, penegasan Pemerintah ini bukanlah hal yang baru sejak terbitnya SK Menperindag itu. Akan tetapi dalam prakteknya di lapangan sering terjadi ketidakkonsistenan atau tebang pilih terhadap masuknya baju-baju bekas impor tersebut. Ditengarai adanya aksi pilih kasih dan main mata antara oknum dengan importir yang menjadi penyebab SK tersebut jalan di tempat kalau tak bisa dibilang gagal total, dengan bukti semakin meluasnya pasar pakaian bekas ini.

 

Tingginya permintaan konsumen dari tahun ke tahun menjadi kendala bagi berbagai upaya penghapusan transaksi pakaian bekas impor. Sehingga walaupun mereka digusur dan di razia, selalu saja ada tempat-tempat lain yang dengan segera terisi oleh pedagang-pedagang tersebut dan informasinya menyebar cepat dari mulut ke mulut di kalangan peminat.

 

Alasan dari pelarangan transaksi pakaian bekas impor ini sebenarnya sangat masuk akal dan dapat diamini, mengingat penggunaan pakaian bekas dari negara lain yang dilakukan oleh masyarakat kita memberikan kesan kurangnya penghargaan terhadap produk pakaian dalam negeri dan merendahkan harga diri bangsa. Dengan kata lain, kita dengan gampang diremehkan oleh bangsa lain karena lebih memilih memakai pakaian bekas mereka. Ini dapat dianggap sebagai bentuk lain dari penjajahan dan penguasaan asing atas bangsa ini. Selain itu, goyangnya industri garment dalam negeri juga menjadi alasan yang tak dapat ditampik begitu saja. Mengingat, hampir semua kalangan masyarakat melirik pasar pakaian bekas impor dengan perbandingan harga yang lebih condong memberikan kualitas lebih baik untuk pakaian bekas ketimbang pakaian baru. Dengan harga yang sama, konsumen menganggap pakaian bekas impor lebih menguntungkan beberapa kali lipat ketimbang pakaian baru.

 

Semakin membesarnya konsumsi pakaian bekas impor ini juga mengindikasikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kita pada produk dalam negeri masih sangat rendah. Bahwa segala yang berasal dari luar masih dianggap jauh lebih tinggi dan terhormat ketimbang buatan lokal yang berarti juga merendahkan tingkat kreatifitas dan kemampuan anak negeri.

 

Kebanggaan masyarakat kita mengenakan pakaian bekas impor sebenarnya menjadi tamparan paling keras untuk para pelaku kreatif di bisnis garment dan menjadi cambuk untuk bekerja lebih keras dan belajar dari banyak hal untuk menyempurnakan proses penciptaan mereka sehingga selaras dengan yang dimaui pasar, bukan semata mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan mengabaikan kualitas. Karena para konsumen, meskipun berasal dari kalangan bawah, tetap memiliki persepsi kritis atas produk yang mereka inginkan. Kualitas bagus juga tak selamanya harus berbanding lurus dengan harga yang selangit. Ini merupakan tantangan tentang bagaimana kita dapat menciptakan pakaian berkualitas bagus namun dengan harga yang bisa terjangkau (meskipun bersifat relatif) oleh berbagai kalangan.

 

Dengan begitu, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negeri akan semakin meningkat, sehingga realisasi dari SK Menperindag tersebut dapat berjalan dengan baik di lapangan.

 

Ketakutan terhadap wabah SARS sebenarnya juga tak perlu terlalu dibesar-besarkan mengingat bahwa tanpa adanya temuan ini pun kita dapat melihat dengan jelas bahwa bal-bal berisi ratusan bahkan ribuan pakaian bekas tersebut sangat potensial menimbulkan penyakit kulit, mulai dari yang ringan hingga berbahaya, juga beberapa penyakit yang berhubungan dengan pernapasan dan sebagainya. Karena ratusan pakaian yang dikemas seadanya itu berasal dari berbagai sumber, baik yang jelas maupun tidak, yang sudah barang tentu tak terjamin kebersihan dan keamanannya dari penularan penyakit. Kondisi ini diperparah dengan lamanya waktu yang dihabiskan dalam pengemasan dan pengiriman, juga berbagai tangan yang menjamah dan memilah-milah sebelum tiba di tangan konsumen terakhir dan sudah tentu tangan-tangan tersebut tak dapat dijamin kebersihannya.

 

Pelaksanaan SK Menperindag itu pun sebaiknya harus juga memikirkan tentang alternatif alih profesi bagi para pedagang tersebut, seandainya pelarangan pakaian bekas impor benar-benar diberlakukan efektif. Karena ada jutaan orang yang akan kehilangan pekerjaan dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Harus ada win-win solution guna memperkecil dampak negatif dari eksistensi SK itu serta pengawasan ketat untuk menghindari permainan-permainan oknum tertentu yang merugikan para pedagang secara finansial.

 

Akhir kata, meskipun godaan dari pakaian-pakaian bekas itu cukup besar dan menggiurkan, taklah salah bila kita sebagai konsumen, pun anak bangsa ini, berperan serta dalam meningkatkan dan membesarkan produk bangsa sendiri. Merek internasional sampai ke bekas pakainya tetap diburu, kenapa tak kita dorong merek-merek dalam negeri untuk go international dan diburu bekas pakainya oleh bangsa lain? Apakah itu terlalu mustahil? Sepertinya, tidak!

Share This Post: