UPAYA PENGHAPUSAN KDRT

Tindak kekerasan sebagai sebuah bentuk kejahatan, senantiasa menjadi berita yang tak pernah putus di masyarakat kita. Dan itu terekam dalam berbagai pemberitaan media massa. Tindak kekerasan dengan latar belakang penganiayaan, perampokan, perkosaan, pembunuhan dipandang sebagai sebuah tindak kriminal yang harus mendapatkan ganjar hukuman yang setimpal. Namun, kekerasan di dalam rumah tangga, baik suami terhadap istri atau sebaliknya dan orangtua terhadap anak, kerap dipandang bukan sebagai tindak kriminal. Terlebih kalau tindakan itu dianggap sebagai sebuah ’pembelajaran dan pengajaran’ yang tidak sampai mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka aparat dan masyarakat cenderung menganggapnya sebagai masalah domestik yang tidak dapat dicampuri. Padahal, ini adalah sebuah pandangan yang sangat keliru dan menyesatkan, sekaligus merugikan kaum perempuan!

 

Dan hal ini semakin diperparah dengan salah kaprahnya pandangan terhadap ajaran agama yang sering dijadikan sebagai legitimasi untuk berbagai bentuk diskriminasi serta kekerasan terhadap perempuan. Sehingga akibatnya, kasus kekerasan demi kekerasan di dalam rumah tangga muncul silih berganti. Sebagian ada yang dibelenggu kebebasannya, diperdagangkan, disiksa fisiknya, disiram dengan air cabe, dan dibakar hidup-hidup. Yang paling mencuat di tahun 2006 lalu adalah bermunculannya berbagai kasus penyiraman baik dengan air keras, air panas maupun minyak tanah yang berlanjut pembakaran terhadap para istri yang dilakukan justru oleh suami, orang yang seharusnya bertindak sebagai pelindung atau pemberi rasa aman bagi mereka. Ironis, bukan?

 

Perempuan juga kerap mendapatkan beban berlebih dan peminggiran (marjinalisasi) dari dunia publik. Kehadiran UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga belum memberikan kontribusi yang memadai bagi penindakan hukum untuk kasus tersebut. Padahal, kehadiran undang-undang tersebut tadinya dimaksudkan untuk melengkapi instrumen hukum yang ada, mengingat sistem hukum di Indonesia  belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Karena banyak dari pengaduan yang dilakukan korban ke polisi atas kasus KDRT hanya mendapatkan perhatian sebelah mata. Dan jalan damai atau penyelesaian internal selalu disarankan sebagai solusi.

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2005 saja, merekam peningkatan angka kekerasan dalam rumah tangga sampai 45 persen dibandingkan tahun sebelumnya; sekitar 20.291 kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dari 14.020 kasus, yang ditangani 215 lembaga di 29 provinsi se-Indonesia.

 

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) umumnya berakar pada persoalan ekonomi dan psikhologis. Ekonomi rumah tangga yang pas-pasan kerap menjadi permasalahan yang memicu terjadinya tindak kekerasan, begitu berhadapan dengan sejumlah besar kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Suami akan menyalahkan istri yang dianggap tidak mampu mengatur uang dengan baik. Dan istri yang merasa sudah kewalahan untuk membagi sedikit dengan jumlah kebutuhan yang banyak, akan menyudutkan suami yang dianggap tidak becus dalam mencukupi nafkah keluarga. Salah menyalahkan inilah yang akan memercikkan ketegangan diantara mereka, yang pada akhirnya akan menyinggung ego dan harga diri suami. Dan biasanya akan bermuara pada pemukulan ataupun penganiayaan fisik. Faktor lain bisa jadi masalah temperamen suami yang cukup tinggi, dipengaruhi obat-obatan terlarang atau minuman keras dan juga kecemburuan terhadap istri. Hal-hal tersebut biasanya menjadi faktor utama terjadinya kekerasan terhadap istri dan untuk anak umumnya karena anak yang dianggap membangkang ataupun tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan telah diatur oleh si orangtua.

 

Ketidakberdayaan perempuan secara ekonomi dan ketidakmampuan perempuan untuk lepas dari kendali suami (meskipun telah berulang-ulang disakiti), juga berperan besar untuk terjadinya penindasan yang berkepanjangan dan lebih kejam lagi. Para suami cenderung akan merendahkan dan membuat si perempuan juga akan memandang rendah dirinya sendiri, sehingga semakin tidak bisa lepas dari kekuasaan suami. Ia semakin tidak berdaya dan kehilangan kemampuan dalam berpikir maupun bertindak.

 

Dan tindak kekerasan itu termasuk juga penelantaran rumah tangga, ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga serta kekerasan seksual. Bahkan kekerasan tersebut melingkupi juga diantaranya tekanan secara psikhis ataupun pemaksaan kehendak secara sepihak yang tidak dapat diterima oleh istri.

 

Dengan begitu bila kita berangkat dari hal-hal di atas, akan semakin sulit untuk mewujudkan terhapusnya kekerasan di dalam rumah tangga. Terlebih, faktor budaya di dalam masyarakat kita yang cenderung selalu mendukung keputusan dan tindakan salah seorang laki-laki terhadap istrinya, juga akan mempersulit adanya keadilan bagi kaum perempuan.

 

Diperlukan perubahan dalam pemahaman dan pola pikir masyarakat yang selama ini tidak adil dalam memandang relasi antara perempuan dan laki-laki. Kita juga perlu benar-benar mengkaji kembali budaya patriarkhi yang berporos pada kekuasaan laki-laki agar tidak salah kaprah sebagai pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Dan bukankah Nabi Muhammad SAW sendiri juga selalu memuliakan perempuan, tidak pernah berlaku kasar apalagi memukul? Nabi pun memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk berkiprah dalam banyak hal, berdagang, berperang, dan mengajar.

 

Segala  bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus dengan segera. Karena sebagaimana disebutkan dalam UU No.23 tahun 2004 tentang KDRT pasal 1 ayat 1 bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,  yang  mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis. Dan itu termasuk penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

 

            Jadi, meskipun berat, perjuangan untuk menghapus tindak kekerasan dalam rumah tangga ini, harus terus dilakukan. Peningkatan kesadaran terhadap kaum perempuan sebagai para korban maupun masyarakat dan aparatur penegak hukum tidak dapat dilakukan dengan setengah hati lagi. Karena sudah cukup banyak korban yang berjatuhan.

 

            Kenapa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki? Karena ia adalah mitra bagi kaum laki-laki, yang harus dilindungi, dihormati dan diperlakukan dengan baik. Perempuan tidak diciptakan dari tulang kaki laki-laki untuk ditindas dan diinjak-injak sekehendak hati. Dan juga tidak diciptakan dari tulang kepala untuk memperlakukan lelaki dengan semena-mena. Maka keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam rumah-tangga mutlak diperlukan demi menjaga harmoni dan komunikasi yang diinginkan sebagai tujuan dari pemeliharaan rumah tangga itu sendiri.

 

Penghormatan terhadap fungsi masing-masing pihak memang tidaklah semudah mengucapkan ataupun mencantumkannya di atas kertas saja. Karena benturan-benturan kepentingan dan ego yang tumbuh di dalam diri masing-masing individu cenderung menjadi pangkal dari hadirnya kekerasan itu sendiri. Maka diperlukan sebuah kesadaran penuh baik dari suami maupun istri untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan di dalam rumah tangga. Pun bukan hanya kebutuhan terhadap antisipasi yang diperlukan namun juga partisipasi aktif untuk menghindari terjadinya pengulangan ataupun tindak kekerasan yang berlarut-larut dan membawa efek berbahaya bagi psikhologis masing-masing pihak maupun terhadap anak, yang seringkali menjadi obyek pelampiasan dari kondisi rumah-tangga yang buruk tersebut.

Share This Post: