Ketika Hijab Sekadar Penuhi Syarat

Kita boleh bangga dengan fenomena maraknya muslimah di negeri ini yang semakin gencar dan bahkan berlomba-lomba untuk menutup aurat mereka dengan cara berhijab (baca: jilbab. red). Kita juga boleh tersenyum takjub ketika beberapa designer Muslim Indonesia eksis di dunia dalam peragaan karya yang bertajuk International Fair of the Muslim Word di Le Bourget Exhibition Center beberapa tahun lalu. Lantas, apakah ini bisa kita jadikan parameter untuk mengukur tingkat efektifitas penggunaan jilbab bagi perempuan muslimah di Indonesia? 

 

Tentu akan sangat tidak bijak bila prestasi pada perancang dan angka-angka statistik pengguna jilbab kita jadikan patokan mutlak tanpa langsung melihat kondisi ril yang terjadi di lapangan. 

 

Secara kasat mata dan dilihat secara general, pengguna jilbab memang semakin meningkat. Bahkan di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, ternyata telah ada komunitas yang lahir atas dasar komitmen bersama sebagai perempuan pengguna jilbab atau yang lebih sounding dengan istilah jilbaber. Bemikian pula halnya di provinsi Banten, komunitas jilbaber ini pun ternyata memiliki jadwal kegiatan seperti diskusi trend mode jilbab yang tengah happening. Namun, kita lupa bertanya, apakah fenomena perempuan berjilbab yang begitu marak ini benar-benar implementasi dari sikap menerima hidayah atau sekadar mengikuti trend semata? 

 

Sebenarnya apakah niatan untuk berjilbab semata-mata karena ingin menutup aurat seperti yang tertuang dalam fiman Allah pada Alquran surah Al-Ahzab ayat 59 berikut; “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Ataukah hanya sebatas menjadi bebek pengekor dunia mode? Bisa kita telaah dari cara mereka menggunakan jilbab itu sendiri. 

 

Tidak sulit untuk melakukan riset kecil-kecilan ini. Lihatlah di sekitar dunia kampus, baik kampus pemerintah (negeri) maupun swasta termasuk kampus-kampus yang mengusung ajaran Islam di dalam sistem pendidikannya! Akan sangat mudah ditemui mahasiswi yang memakai jilbab ala kadar dan yang benar-benar mengamalkan perintah Allah dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 di atas. 

 

Patut disayangkan, kebanyakan yang terlihat adalah perempuan-perempuan yang menggunakan jilbab hanya sebatas formalitas untuk mematuhi peraturan kampus dan usaha penyetaraan status dalam persahabatan yang mayoritas berjilbab, lalu mereka ikut-ikutan berjilbab tanpa mengetahui dalil yang mengajurkan untuk melakukan tindakan itu. Keberadaan jilbab yang menutupi bagian kepala mereka sangat kontras bila dibandingkan dengan pakaian yang mereka kenakan. Jilbaber-jilbaber kaget ini tidak paham apa esensi dari jilbab yang sebenarnya. Dalam Islam pengertian berjilbab bukan berarti sekadar menutupi kepala, namun ada syarat tertentu, di antaranya, pakaian tersebut tidak membentuk badan, tidak transparan dan tidak mencolok, sedangkan kerudung harus menutupi dada, inilah pengertian berjilbab yang sesuai tuntunan Islam. 

 

Dari persyaratan berjilbab yang sesuai syariat Islam di atas, mari kita bandingkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Masihkah kita menemukan pengguna jilbab yang menggunakan celana panjang ketat atau rok terbelah, baju ketat dan pendek, kerudung yang hanya menutupi kepala, sedangkan leher dan dada dibiarkan terbuka, juga kaki yang jelas-jelas termasuk aurat dibiarkan begitu saja tebuka tanpa memakai kaus kaki? Silakan jawabannya kita simpan sendiri, sebab penulis yakin jawaban kita akan sama. 

 

Dan mari kita cermati firman Allah dalam Surah An-Nur ayat 31 berikut; 

 

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan pehiasaannya kecuali yang biasa nampak dari pandangan. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau kepada ayah mereka, atau putra-putra mereka, atau saudara- saudara mereka, atau putra-putra suami mereka, atau wanita- wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan- pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap kaum wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat kaum wanita. Dan janganlah mereka memukul kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (Qs An Nur : 31)

 

Sudah jelas sekali, bahwa Islam sangat mengistimewakan wanita, tapi alangkah sedihnya apabila wanita yang tidak mengistimewakan diri mereka sendiri dengan membuat cara membuat toleransi dan menawar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. 

 

Padahal kalau kita mau memaknai secara mendalam, kandungan ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hijab sebenarnya sangat memuliakan posisi seorang perempuan yang sangat rentan terhadap pelecehan. Kalaulah perempuan menyadari betapa Islam sangat memuliakan mereka tentulah berjilbab secara gaul akan kembali menjadi pertimbangan sebelum dilakukan. 

 

Pun, seandainya perempuan ataupun perancang jilbab ingin berkreasi dengan model jilbab yang up to date, Islam tidak melarang untuk hal demikian. Perempuan tetap bisa tampil indah dengan model jilbab yang menarik bila dipadupadankan dengan busana yang sesuai kaidah Islam, yaitu longgar dan tidak mengundang syahwat. 

 

Di luar tuntunan Al-Qur’an pun, penampilan perempuan yang berjilbab gaul sungguh terasa asing dan bahkan aneh. Bayangkan saja, jilbab yang merupakan ikon bagi seorang muslimah, dipadu dengan pakaian ketat yang membentuk lekukan tubuh tentulah sangat tidak cocok. Seseorang yang menggunakan jilbab seharusnya menenangkan pikiran yang melihatnya, meredakan syahwat lelaki untuk menggodanya; karena citra perempuan berjilbab selalu meyejukkan, bukan sebaliknya.(*)

Share This Post: