STOP PLAGIASI!

Keinginan untuk mendapatkan pengakuan atas intelektualitas menyebabkan banyak orang yang menempuh jalan pintas dan mudah. Diantaranya dengan melakukan pengadopsian atas karya intelektual seseorang tanpa izin alias plagiasi atau yang dalam bahasa sehari-hari sering dikatakan menjiplak atau mencontek.

 

            Tindakan plagiasi ini bukan fenomena baru, melainkan sudah tumbuh dan berkembang hampir di setiap sendi kehidupan. Bukan saja dalam hal pendidikan atau karya ilmiah/populer, bahkan juga pada berbagai sektor usaha dan ekonomi rakyat. Sehingga bukan saja para siswa di berbagai jenjang pendidikan yang melakukannya, bahkan para dosen pun banyak yang melakukan hal serupa untuk kepentingan kenaikan jenjang karirnya. Beberapa kasus plagiasi yang dimuat media massa tidak jarang melibatkan seseorang yang sudah memiliki nama besar dan dikenal sebagai ahli untuk bidang keilmuan tertentu. Mereka melakukan plagiasi untuk tesis dan karya-karya ilmiah yang mengetengahkan kebaruan atas bidang yang mereka dalami.

 

            Selain itu, masih banyak pengusaha yang menjadi plagiator atas produk-produk dari merek terkenal ataupun produk yang terlebih dahulu diluncurkan. Baik dengan kualitas produk yang nyaris setara atau yang hanya numpang tenar lewat nama saja. Produk abal-abal. Belum lagi plagiator yang berkeliaran di dunia seni, baik musik, tari, lukisan dan sebagainya.

 

            Mengapa mencontek?

 

            Tindakan mencontek umumnya dilakukan karena seseorang itu tidak memiki kapasitas atau kemampuan pribadi yang memadai untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu. Sementara ia dihadapkan pada pilihan untuk to do something alias melakukan sesuatu agar dapat bertahan hidup. Apa yang kemudian dilakukan kalau bukan pilihan sebagai plagiator? Sebuah pilihan yang memungkinkan mendapatkan sebuah pengakuan, nilai dan keuntungan materil tanpa harus bersusah-payah memeras keringat dan mengasah otak. Dengan hanya memindahkan dan mengganti atas nama kepemilikan orang lain pada sebuah karya, tentu keuntungan-keuntungan yang disebutkan di atas akan lebih cepat untuk didapatkan ketimbang pikir sana-pikir sini dan survei sana-survei sini dulu.

 

            Selain itu, tindakan mencontek adalah sebuah tindakan yang antitesis dengan proses kreatif lahirnya sebuahnya karya. Plagiasi lahir dan tumbuh karena kemalasan dan ketidakkreatifan seseorang dalam menggali ide-ide orisinil di dalam diri dan lingkungannya. Mereka lebih memilih cara instan yang bahkan melanggar hak cipta dan hak intelektual seseorang. Mereka abai telah melakukan tindakan yang merugikan orang lain baik secara materil maupun immateril karena hanya memikirkan hal yang menguntungkan diri sendiri.

 

            Mencontek juga menjadi habit atau kebiasaan karena sedari kanak-kanak yang bersangkutan telah terbiasa melakukannya, sehingga terbawa hingga dewasa, bahkan diterapkan dalam urusan pekerjaan, bisnis dan keluarga.

 

            Tindakan plagiasi adalah sebuah tindakan yang sangat tercela dan tidak mendidik. Tidak  sepatutnya orang-orang terdidik melakukan tindakan plagiasi, mengingat mereka ditempatkan pada jajaran orang-orang yang memiliki kelebihan dan kapasitas intelektual yang di atas orang awam. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Para pelaku umumnya malah berada pada jajaran pendidik dan orang-orang yang disebutkan di atas, dengan tanpa merasa malu mengakui karya cipta orang lain, sebahagian atau bahkan seluruhnya, adalah milik pribadinya yang dihasilkan dari kematangan berpikir dan berkreasi yang dimilikinya. Dan tradisi ini menurun dengan mulus pada generasi-generasi di bawahnya yang lebih muda dan belum paham benar tentang hak cipta dan tercelanya perbuatan menjiplak atau copy paste.  Para pelajar bukan hanya mencontek jawaban dalam ujian, melainkan juga menjiplak berbagai karya ilmiah yang dibebankan guru. Menyedihkan, bukan?

 

            Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).

 

            Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.

 

            Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.

 

            Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).

 

            Sementara Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan bahwa dalam hukum Islam, Hak Cipta dipandang sebagai salah satu huquq maliyyah (Hak Kekayaan) yang mendapatkan perlindungan hukum (masnun) sebagaimana mal (kekayaan). Hak Cipta yang mendapatkan perlindungan hukum Islam sebagaimana dimaksud adalah Hak Cipta atas ciptaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagaimana mal, Hak Cipta dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qud alaih), baik akad mua’wadhah (pertukaran, komersil), maupun akad tabarru’at (non komersial), serta diwaqafkan dan diwarisi. Setiap bentuk pelanggaran terhadap Hak Cipta, terutama pembajakan, merupakan kezaliman yang hukumnya adalah HARAM.

 

            Karena hal-hal di atas, maka sebaiknya diupayakan untuk menghindari budaya plagiasi atau mencontek atas karya-karya ilmiah maupun seni lainnya. Karena sesungguhnya daya pikir manusia dan hasil baik yang diciptakan merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa yang layak dihargai dengan sebaik-baiknya.

Share This Post: