Sang Penulis

Kulirik jam tanganku. Pukul dua siang kurang sepuluh menit. Sebentar lagi cowok bermata Garfield, tokoh kucing animasi kesukaanku itu bakal nongolin mukanya di pintu. Seperti biasa, jam dua siang waktunya buat dia mampir ke toko buku tempat aku kerja sambilan selama enam bulan ini. Hampir seminggu tiga kali cowok itu selalu mampir, tapi anehnya tak sekali pun dia membeli satu judul buku pun, cuma sekedar lihat-lihat dan tenggelam dalam kekhusyuan membaca backcover-nya selama berjam-jam, lalu pulang tanpa sepatah kata pun. Dasar cowok aneh.

 

Sesekali aku mencoba menyapanya, ya barangkali saja ada yang bisa aku bantu, tapi sebagai jawaban tuh cowok cuma geleng-gelengin kepala lalu kembali menekuri buku-buku. Menyebalkan! Seolah tak ada seorang pun yang bisa mengganggunya. Kadang pengen banget aku tendang dia keluar pintu, tapi itu cuma ada dalam khayalanku. Selama ini aku dan rekan-rekan sekerja membiarkan dia menekuni hobinya itu, ngacak-ngacak buku.

 

Mungkin cowok itu kurang kerjaan di rumahnya atau memang niat beli, tapi uangnya belum mencukupi, siapa tahu? Seringkali juga aku berpapasan dengan dia di antara deretan judul-judul buku di rak. Matanya yang sembab dengan garis hitam melingkupi kantung matanya seperti orang yang kurang, bahkan tak pernah tidur, makanya aku ngejulukin dia Garfield, kucing animasi berkantung mata tebal. Tipe orang-orang yang suka memendam elegi dan cenderung mudah stres jika menemukan permasalahan hidup. Sifatnya yang pendiam dan super statis membuatku aku sulit berkomunikasi selayaknya pramuniaga sama customer-nya, sekedar basa-basi untuk memancing minat beli.

 

 

 

 

 

Hobinya memelototi buku jika dihitung-hitung sudah sekitar tiga bulan lamanya. Cukup lama juga bagi seseorang yang ragu-ragu untuk membeli atau menimbang-nimbang judul buku yang pas untuk dimiliki. Ah, daripada pusing memikirkan si pendiam aneh itu lebih baik aku mengacuhkannya saja, ketika dia datang atau pergi, aku sudah tak peduli. Aneh juga sih, bila ada orang yang hanya puas dengan membaca backcover buku, bisanya mengacak-acak saja, menambah kerjaan saja itu orang. 

 

“Orang iseng kali tuh! Masa kerjaannya cuma ngacak-ngacak buku, kapan mau belinya?” kata teman satu profesi.

 

“Jangan-jangan orang itu cuma pengen ketemu dan ngeliatin kamu aja kali, Na. Awas lho, tiba-tiba dia nyulik kamu sepulang kerja bisa bahaya!” yang lain menimpali, malah bicara yang nggak-nggak, menakutiku saja.

 

Pernah sesekali dia menyapaku, sekedar bertanya sebuah judul buku yang memang belum masuk ke deretan items yang ada. Ia menatapku nanar dan melemparkan seulas senyum hambar lalu mengucapkan terimakasih, sebelum sosoknya yang terbalut pakaian lusuh itu menghilang di pintu. Tapi kupikir si pendiam itu cute juga, wajahnya putih, bahkan terlalu putih untuk seorang cowok, seperti mayat hidup saja. Matanya yang selalu sayu terlihat habis begadang tetapi berkesan teduh dipayungi sepasang alis hitam, hidung mancung dan bibir yang kering, pasti ngerokoknya kuat. Aku seringkali melihatnya mematikan rokok yang sedang dia hisap bila akan memasuki toko yang ber-ac.

 

“Mulai ada komunikasi nih ye?” 

 

“Jangan-jangan disusul dengan nge-date,”

 

“Ih, jangan mau Na. Cowok freak kayak gitu, nggak jelas! Penampilannya aja mirip gembel, entar kamu malah diapa-apain sama dia,” berbagai opini menyeruak dari mulut rekan-rekan sekerjaku begitu cowok pendiam itu berlalu. 

 

 

 

 

 

Don’t judge a book by its cover, mungkin peribahasa itu tak berlaku di lingkungan teman-teman satu profesi yang selalu memandang orang dari kulit luarnya saja. Aku teringat dengan Romi, kakakku, yang tongkrongannya jauh lebih berantakan dari si pendiam itu tapi hatinya baik seputih pualam, siap membantuku apa saja tetapi paling lemah jika berhadapan dengan cewek, makanya sampai sekarang kakakku itu ngejomlo terus. Di mata teman-temanku, cowok rapi, bermuka licin, berpenampilan up to date dan berdompet tebal, apalagi bila berwajah indo atau oriental, baru menarik perhatian dan rame-rame diburu untuk dijadkan pacar. 

 

Hari ini berhubung hujan turun sejak pagi hingga menjelang sore, si Garfield itu tak kunjung datang. Aku yang menunggunya sedari tadi tak melihat batang hidungnya nongol di tokoku. Padahal hari ini adalah hari gajian, sedari pagi telah kusiapkan sebuah kado berisi buku novel dari penulis yang tengah naik daun belakangan ini, bahkan menurut sebuah kabar, tak lama lagi novelnya akan diangkat ke layar lebar. Namun hingga jam kerja berakhir, dia tak datang-datang juga. Hingga akhirnya aku pulang menembus hujan yang tinggal gerimis berjatuhan. Dasar Garfield sialan! Akhirnya novel yang tadinya akan kuhadiahkan buat dia terpaksa kuberikan pada Romi, kakakku yang hobi banget baca.

 

Sudah seminggu dia tak nongol ke toko, padahal hari ini sangat cerah, matahari tak terlalu panas menyemburatkan sinarnya. Pak Radian, manajer toko, tiba-tiba menghampiriku. Aku sedikit kaget, karena tak biasanya beliau langsung turun ke lapangan.

 

“Na, lusa kita akan ngadain Temu Penulis novel remaja yang baru terbit. Kabarnya novel itu akan menggeser novel-novel best seller yang sekarang menduduki peringkat teratas. Kita siap-siap aja setting ruangan, karena yang hadir lumayan banyak, baik pengunjung maupun wartawan,” ujar beliau. Aku mengiyakan, begitu pula rekan-rekan kerjaku yang lainnya.

 

“Wah, kerjaan lagi nih! Na, kamu yang ngecek deh, tuh novel-novelnya udah datang,” rekan seniorku memberi perintah. Memang begitulah fenomena antara pegawai senior dengan pegawai yang baru masuk, selalu sewenang-wenang menyuruh seolah-olah dia adalah atasan. Tetapi aku tak pernah mempermasalahkan itu yang penting dia tak terlalu mengganggu hal-hal yang menjadi privasiku.

 

Acara launching dan Temu Penulis sebuah buku memang sudah menjadi rutinitas di toko tempatku bekerja. Selain mampu mendongkrak nilai penjualan, juga secara tak langsung meningkatkan citra toko buku, tempat dimana acara itu digelar. Dengan begitu semakin bertambah pula pelanggan yang datang. 
Novel baru itu sedang aku cek jumlahnya, lantas kumasukkan dalam daftar pemasukan barang berjenis novel remaja.

 

 

 

 

 

Ranu Pena adalah nama penulis muda yang baru menulis satu novel berjudul Pelangi Jingga, tapi langsung meledak dan menjadi best seller di seluruh toko buku, hingga hanya dalam dua minggu saja novel itu sudah cetak ulang. Sebuah fenomena yang mengagumkan. Aku bayangkan, pasti si pendiam bermata mirip kucing Garfield itu akan tertarik pada novel yang satu ini. Dan pastinya dia hanya bisa memelototi back cover-nya saja sambil menahan hasrat untuk membeli. Ah, mengingatnya saja aku sudah malas, lagian sudah beberapa hari dia tak nongol ke toko, entah apa yang dilakukannya diluar sana. 

 

Ruangan yang sudah beres disetting kemarin sore hingga menjelang malam. Buku-buku di rak yang telah di tata serapi mungkin, serta sebuah spanduk dengan tulisan gede-gede memuat cover novel dan nama penulisnya, menandakan kesiapan kami dalam menyambut para pengunjung dan wartawan yang akan menghadiri acara temu penulis, siang nanti. Novel yang pastinya akan ditandatangani penulisnya sendiri bertumpuk rapi di atas meja dengan beberapa kursi menanti untuk diduduki para tamu.

 

Aku mengelap keringat yang membanjiri keningku meski ruangan toko ber-ac. Kesibukan benar-benar telah memeras keringat dan fikiranku. Begitupun dengan beberapa rekan sekerjaku yang tenggelam dalam kesibukannya masing-masing sesuai intruksi yang telah diberikan sang manajer. Kulirik pintu toko, ya ampun si pendiam itu nongol juga. Mungkin dia mendengar acara temu penulis yang akan berlangsung beberapa jam lagi. Matanya masih sembab, rambutnya acak-acakan mirip vokalis The Cure yang beken lewat tembang lawasnya Boys Don’t Cry, kasetnya masih sering di puter Romi setiap kali kakakku itu ditolak cewek sambil termehek-mehek. 

 

Si Garfield itu celingukan sendiri melihat pemandangan yang tak seperti biasanya. Lebih rapi dengan beberapa ornamen penghias ruangan untuk menyambut tamu di acara nanti. Aku menghampirinya. Dia memakai sweater rajutan yang persis sama dengan sweaterku hanya beda corak dan warnanya saja. Dia melirik dan tersenyum meski hambar. Duh, ada angin apa dia sampai sempet-sempetnya tersenyum seperti itu?

 

“Kok lama nggak nongol?” sapaku.

 

Dia menggigiti bibir bawahnya. Matanya menerawang membaca spanduk acara yang sudah terpasang di dinding toko.

 

“Iya, kemaren-kemaren sibuk. Udah siap ya acaranya?” suaranya serak. Ah, baru kudengar sekali ini dia berbicara beberapa kalimat. Meski suaranya memang terdengar lembut dan serak khas cowok. Aku senang mendengar suara seperti itu.

 

“Iya, sebentar lagi acaranya di mulai. Udah tau ya, mau ada acara Temu Penulis disini?” tanyaku. Dia mengganggukan kepala. 

 

“Novelnya bagus lho, malah udah jadi best seller hanya dalam dua minggu langsung cetak ulang, hebat kan?” lagi-lagi dia hanya menganggukkan kepala. Bikin aku sebal, lantas aku tinggalkan dia yang lagi bengong sendirian diantara rak buku. Pengen banget kutendang bokongnya keluar dari toko. Lagian dia nggak akan membeli selain hanya ikut meramaikan saja sambil memelototi back cover, tuh kan baru saja dibilang Si Garfield itu lagi melihat-lihat backcover novel baru itu.

 

Acara pun segera dimulai. Orang-orang mulai berdatangan dan langsung antri membeli novel yang laris bak kacang rebus itu. Aku pun sibuk melayani sampai nggak sempat memperhatikan acara sambutan yang dibuka oleh Pak Radian. Terdengar suara tepukan tangan dari pengunjung yang hadir, juga suara ceklek-ceklek dan kilas blitz kamera para wartawan. Aku sibuk melayani pembeli yang masih terus berdatangan.

 

Terdengar suara penulis muda yang bernama Ranu Pena itu. Ah, pasti orangnya cakep dan mengingat novelnya yang telah menjadi best seller, tentunya tajir juga tuh orang. Pasti rekan-rekan sekerjaku berkhayal menggaet tuh penulis yang umurnya masih sebaya denganku. Tetapi lama kelamaan aku merasa hapal dengan suara serak itu, apalagi melihat rekan-rekan sekerjaku yang pada melongo menatap acara yang sedang berlangsung. 

 

Aku beranjak dari tempat dudukku dan menatap tak percaya, si Garfield tengah menjadi pembicara di depan para pengunjung dan wartawan yang memadati ruangan. Ternyata dialah Ranu Pena, penulis muda itu! Aku tak berkedip menatapnya. Dia melirik ke arahku dan menyunggingkan senyumnya untukku. Senyuman termanis yang selama ini tak pernah dia berikan untukku. Ugghhh, so sweet!.***

Share This Post: