Hidup, Tolong Tambah Gula, Sedikit Saja

Ini seperti sebuah dongeng tua yang tak pernah habis dibicarakan, yang tidak ada baiknya tapi seperti itulah adanya. Tentang secangkir kopi dan kepul uapnya yang merajut senandung jelaga di lalang luna senja lalu. Tentang asap rokok yang diam-diam disembunyikan di balik daster, renyah manja yang diselipkan di saku celana, dan kemelut di hari Alastu.

 

            Tentang keinginan perempuan yang berkonflik dengan hasrat, dan ambisi laki-laki yang nyinyir bagai teriak camar kesepian. Hasrat membuat lubang di ozon menggunakan tangkai melati, sedang gua jernih di dalam kepalanya yang dijaga malaikat di mana matahari menyembul dari sana tak pernah sekalipun dimasukinya.

 

Dan tentang api di tengah malam, dalam bahasa tubuh yang penuh semangat. Ketika cinta dan nafsu menggumpal jadi satu mengalir ke selokan tempat kecebong dan tikus, yang tak lagi bisa berenang dengan bebasnya sebab sampah menghalangi lajunya, lalu naik kembali ke ranjang menyusup jantung, menjambak fantasi, membentuk jeritan-jeritan tak tertahan. Berpacu. Gemuruh. Riuh. Meledak-ledak bagai deru kereta api yang bergerak.         

 

            Pentas dua anak manusia yang menerobos jalan licin dan curam untuk sekedar bebas menikmati kehidupan yang hampir tidak dapat dibayangkan.

 

 

 

            "Dik, ingat, ini kisah yang tak asal ketemu."

 

            ''Halah!'' katamu, ''Cinta jajaran genjang, lempar saja, aku sudah tak peduli''.

 

            "Tak usahlah berteriak, mari kita bicara dalam gaya tunawicara, tak perlu gertak, tak perlu hentak, cuma gerak tangan sebagai bahasa. Tak usah pula kelilingi ruang dengan amarah, muka merah."

 

            ''Sudahlah!'', sahutmu, sembari menjambak rambutku dan menghempaskan kepalaku keluar jendela, membiarkannya menabrak dinding aspal, disambar kalelawar bisu di bawa terbang menembus atmosfir bumi, dimainkan udara beku diombang-ambing lalu dilempar begitu saja dan jatuh di comberan. ''Kau tahu betapa sakitnya kepalaku, dik?'' tapi dia hanya tertawa. Gila. Kemudian melangkah keluar.

 

            ''Aku hanya ingin melihat langit, melihat bintang menari'' katamu, ''Merasakan angin yang menusuk otakku, hingga membuka ruang tersendiri dari trapesium sampai persegi panjang, hingga membentuk tanda tanya, tanda seru, huruf kuadrat, dan angka-angka.''     

 

            ''Langit hanya cocok untuk orang gila, dik?''

 

            ''Ya, aku memang gila. Dan kau tahu, aku tidak sekedar melihat langit tapi aku bercermin dan bertanya, apakah citra diriku sudah normal?''

 

            ''Kau terlalu egois, dik''

 

            ''Ya, dunia pun tahu kalau aku egois''

 

            ''Kenapa tak kau lempar saja egoismu itu ke jalan raya biar digilas deru pembangunan, dik?''

 

            ''Ya, dan kita bersamaan melempar egois itu ke jalan raya. Setelah itu aku ingin membawa hatiku ke danau membenamkan sampai ke dasarnya bersenda gurau bersama ikan, meski sesekali naik ke permukaan menari bersama angsa. Kau tahu sebabnya, aku dahaga di tepi sungaimu. Dan aku harus pergi, maafkan aku, sayang''.

 

            ''Karena lelaki itukah… lelaki berambut api dan bergigi emas, lelaki yang mampu menggetarkan seluruhmu, lalu kau ingin meninggalkanku?''

 

            ''Entahlah, sayang… aku hanya tak bisa hidup denganmu''

 

            ''Apa kau sudah tak menggenggam tanganku lagi?''

 

            ''Sudahlah, tak perlu berlalu lalang dalam berkata-kata!''

 

            ''Apa kau sudah tak mencintaiku, dik''

 

            ''Aku masih mencintaimu. Dan karena aku mencintaimu, aku harus meninggalkanmu. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, itu saja!''

 

            ''Aku tak bisa hidup tanpamu, dik''

 

            ''Kau bisa hidup tanpaku''

 

            ''Aku akan tetap mencarimu, dik''

 

            ''Tak usahlah mencariku, kau pasti akan tersesat. Selamat tinggal, sayang!''

 

 

 

            Berdiri duniaku di persimpangan dengan tatap mata di garis bujur tak tentu, dan impian yang morat-marit serta harapan yang pecah berantakan.

 

Kisah lama tentang sedap malam yang aromanya tergantung di sanggul Dewi Sukasih terngiang di kepalaku. Perempuan yang meninggalkan kekasihnya begitu saja, meski telah berjanji sehidup semati, seia sekata. Merangkai bunga kehidupan, berlayar di samudera tak terbilang, berdua, bersama, selamanya, dalam untaian kata nan manis, ''Kau jantung hatiku, tanpa jantung hati aku tak bisa hidup''. Membongkar tradisi lama, mencoba menggebrak keteraturan situasi yang sudah ada untuk mencapai kemajuan yang lebih maju. Ingin seperti matahari yang menerangi, ingin seperti hujan yang membasahi. Hingga hari terbakar dilalap sunyi, denyut jantung musnah suaranya, mengering dan berguguran.

 

            Lalu inginku membakar segalaku dalam kobar api hingga leleh tak berdifusi, tak berjejak di ruang yang pernah dibicarakan, ditutur-katakan, yang kita sebut nilai, yang merupakan ringkasan dari cara hidup yang disepakati, yang bebas lepas dan membabi buta. Kemudian, inginku tenggelam benamkan seluruhku dalam pusaran ruang waktu hingga tak terdeteksi, tak ditemukan diatome, tanda asfiksia, menembus lubang cacing, kota yang menawarkan kacamata baru keindahan.  

 

Tapi apa daya kenangan bersamamu tetap saja tak bisa diputar kembali meski satu hembusan angin mampu menamparnya, masa lalu tetap tidak berubah dan bergerak seruas, sejengkal pun. Ia tetap bagai demam yang menyakitkan, bagai hantu-hantu fantastis yang meresahkan tidur malam. Berjelaga di jam dinding yang berdetak nyaring.

 

            Berjelaga di setiap tanda yang ditinggalkan, pada jejak sepatu, jepitan rambut, kalung dari kulit kerang merah, bangku bambu, lagu yang kita gubah sebagai visi untuk masa depan negeri, lukisan nyamuk malaria yang berseliweran di antara rerimbunan mangrove, jendela berdaun dua masing-masing dengan tiga lembar kaca, keset kaki merah jambu, dan tari kawin yang penuh gairah. Rasa sepi yang menghanguskan, jelaga terus memporak-porandakan tanpa belas kasihan, cita dan cinta terlepas dari tangkainya gugur tak beraturan. Harapan dan impian kehilangan harumnya di tempat suci yang aku bangun dengan tanganku sendiri.

            Jiwaku asing di rumah sendiri: Duh pahitnya! Hidup tolong tambah gula, sedikit saja..***

Share This Post: