Bulan Tertimbun Pasir

Semburat mentari di ufuk timur serta kokok tiga oktaf si jago dari kandangnya di belakang rumah menjadi simfoni pagi yg indah bagi Marwan. Sebelum adzan shubuh berkumandang, Marni telah sibuk di dapur mempersiapkan dagangannya yang satu persatu ditata di atas sebuah tampah. Nasi uduk terbungkus daun pisang dan dibalut secarik koran bekas, berbaris rapi berdampingan dengan peyek, gehu, pisang goreng dan bakwan.

 

Setelah Nina dan Agil, dua anak mereka, selesai sarapan, tampah yang penuh berisi dagangan itu lantas dibawa Marni keliling kampung, sebagai sarapan pagi bagi para langganan, sebelum mereka berangkat bekerja, ke sawah, atau ke ladang. Sedangkan Marwan setiap pagi berangkat menuju lembah di desa sebelah, menjadi penggali pasir demi menafkahi keluarganya. Nina dan Agil telah rapi berpakaian seragam merah putih, bersiap-siap berangkat sekolah dengan senyuman riang.

 

"Kang..." ucap Marni sarat keraguan sembari menatap Marwan yang tengah memasukan cangkul dan sekop ke dalam karung. Bungkusan dalam plastik hitam berisi bekalnya untuk makan siang yang telah Marni siapkan.

 

"Ada apa?" Marwan sekilas melirik istrinya, tangannya sibuk mengikat ujung karung dengan seutas tali plastik. Marni tertegun. Tampah berisi dagangannya telah siap ia bawa keliling kampung. Marwan kembali meliriknya.

 

"Kenapa? Ada yang mau dibicarakan?" Marni menggeleng pelan. Wajahnya sarat dengan keraguan. Sedari tadi Marni hendak berbicara pada suaminya, namun menunggu Nina dan Agil berangkat ke sekolah terlebih dahulu.

 

"Hari ini akang ga usah gali pasir ya? Di rumah saja, perbaiki kandang si jago atau carikan Marni kayu bakar, di dapur persediaan sudah mulai habis," Marwan mengernyitkan keningnya.

 

"Memangnya kenapa? Kandang si jago nggak apa-apa, kalaupun butuh kayu bakar kan nanti bisa akang bawain sepulang kerja. Di lembah banyak tanggul bekas dan kayu-kayu lapuk, nanti akang bawain."

 

Marni menghela nafas dan kembali berkata, "Semalam, Marni mimpi yang nggak baik, khawatir Akang kenapa-kenapa hari ini." Marwan tersenyum menghampiri istrinya dan mengusap kepalanya yang berbalut kerudung.

 

"Jangan terlalu meyakini mimpi, baik dan buruk itu hanya bunga tidur saja. Anak-anak sebentar lagi ujian kenaikan kelas, Nina malah mau ujian kelulusan, dan sebentar lagi masuk SMP. Kita butuh biaya yang tak sedikit untuk mereka, masih ingat janji Akang dulu?”

 

Marni mengangguk, meskipun kegusaran masih kentara di sorot matanya.

 

“Kita harus menyekolahkan anak-anak kita setinggi mungkin, apapun akan Akang kerjakan agar anak-anak kita pintar dan cerdas, tak seperti orangtuanya, cuma lulusan SD."

 

Marni kembali menghela nafas. Mimpinya semalam entah kenapa masih terus menggelayut di benak dan pikirannya.

 

"Sudah, jangan terus ngelamun, sudah hampir jam enam lho. Kasihan orang-orang yang pada nunggu sarapan," kata Marwan sambil menepuk pundak istrinya. Marni mengangguk dan bergegas pergi.

 

 

 

 

 

Siang itu matahari bersinar terik. Seusai berjualan keliling Marni mampir ke area tambang pasir tempat suaminya mencari nafkah. Marni melewati jalanan tanah yang tidak rata, ada garis dalam memanjang di jalan menuju tambang pasir tersebut. Garis itu adalah jejak roda mobil-mobil truk yang mengangkuti pasir dari tempat tersebut dan membawanya entah ke mana.

 

Cuaca siang yang menyengat membuat tubuh dan dahi Marni berkeringat. Dengan punggung lengannya Marni mengusap dahinya. Sebetulnya jarang sekali Marni mendatangi tempat ini untuk menengok kesibukan suaminya bekerja. Biasanya sepulang berdagang Marni langsung pulang ke rumah untuk memasak, menyuci piring dan kegaiatan rumah lainnya. Mimpi buruk yang dialaminya semalamlah yang menuntunya hingga ke tempat ini. Kali ini Marni pun membawakan makanan kesukaan suaminya, siomay. Makanan ini dibelinya di pedagang keliling yang ditemuinya di kampung saat menuju tempat ini.

 

Setelah menempuh perjalanan lima belas menit dari gerbang tambang pasir, Marni sampai di area tempat istirahat para kuli tambang. Kala itu baru saja jam dua belas lewat. Sebanyak tujuh buah gubuk dipenuhi oleh para kuli tambang yang tengah beristirahat. Mata Marni sibuk mencari-cari sosok suaminya di antara para kuli yang tengah beristirahat tersebut, belum sempat matanya menemukan sosok yang dicarainya, sebuah suara yang begitu dikenalnya memanggilnya.

 

“Marni! Marni!”

 

 Marni segera menemukan asal suara tersebut dan bergegas menghampiri.

 

“Kamu kok kesini?” tanya Marwan saat Marni sudah berada di dekatnya. Para kuli yang tengah beristirahat di amben tersebut memberikan ruang untuk Marni duduk.

 

“Aku khwatir saja sama Akang.”

 

Marwan mencoba tersenyum. “Apa yang kamu khawatirkan? Sudah aku bilang mimpi itu cuma bunga tidur. Buktinya sampai sekarang aku baik-baik saja kan.”

 

Marni mengeluarkan sebungkus siomay dari tas jinjingnya. “Ya semoga saja mimpi semalam cuma bunga tidur, Kang. Ini siomay saya beli di jalan.”

 

Marwan tersenyum senang melihat makanan kesukaannya. Kemudian dibukanya bekalnya tadi pagi berupa nasi dan lauk tempe. Kini dengan tambahan lauk siomay Marwan jadi tambah selera untuk makan siang. Tanpa banyak bicara Marwan langsung menyantap makanan itu. Melihat begitu lahap suaminya makan memberikan kebahagian tersendiri bagi Marni. Namun entah mengapa meski melihat keadaan suaminya sehat dan tidak kurang satu apa pun, hati marni tetap gelisah.

 

 

 

 

 

Marni “Hey dasar kamu! Ini rasakan!” tiga orang anak kecil saling melemparkan pasir dan ada satu lemparan mengenai tubuh Marni yang tengah duduk melamun. Lemparan itu sekaligus menyadarkan Marni dari kisah masalalunya saat ia terakhir kali mengobrol dengan suaminya di sebuah gubuk di area penggalian pasir. Kisah dimana pada saat itu ia memiliki firasat kuat akan musibah yang akan menimpa sang suami tercinta.  

 

Marni membersihkan sisa pasir yang menempel di bajunya. Salah seorang anak yang merasa lemparannya mengenai tubuh Marni berteriak tanpa berani mendekat, “Bik… maaf saya enggak sengaja!”

 

Marni menatap anak tersebut dan mencoba tersenyum seraya sedikit menganggukan kepalanya. Marni mengenal anak tersebut sebagai anak kampung yang dahulu kerap membeli nasi uduk buatannya. Namun setelah sang sumi tercinta meninggal dunia tertimbun longsor pasir, Marni sudah tidak menekuni usaha jualan nasi uduk dan gorengan tersebut. Marni sempat shock cukup lama tanpa dapat melakukan apa-apa, ia tidak dapat menerima nasib tragis yang menimpa suaminya. Beruntung para tetangga yang masih peduli dengan keadaan keluarganya bergiliran memberikan berbagai bantuan termasuk bantuan makanan sehingga anak-anaknya dapat tetap makan dan sekolah.

 

Sadar akan keberadaan anak-anaknya yang membutuhkan makan dan biaya hidup, Marni mencoba bangkit kembali. Ia berusaha menegarkan hatinya dan menerima semua ini sebagai garis hidupnya. Marni pun pergi ke pasar mengunjungi kenalannya untuk melamar menjadi pelayan toko. Setiap pagi sejak pukul delapan pagi hingga sore hari Marni bekerja menjadi pelayan toko sembako. Aktivitas barunya ini membuatnya sedikit banyak dapat menghilangkan kebiasaan melamunnya. Namun pada hari-hari tertentu, saat ia libur kerja seperti pada hari ini, Marni selalu menyempatkan datang ke lokasi tambang pasir tempat di mana suaminya tewas. Marni merasa perlu berada di tempat ini sebagai cara untuk melampiaskan rasa rindu terhadap sang suami tercinta.

 

Saat ini Marni tengah duduk di sebuah gubuk yang berada di area galian pasir. Gubuk yang beratapkan genting tanpa dinding dan hanya terdapat sebuah amben ini biasa digunakan oleh para penambang pasir beristirahat untuk makan siang mau pun untuk melepas lelah. Namun jika ada Marni di gubuk tersebut, para penambang yang berniat istirahat memilih menggunakan gubuk yang lain. Mereka adalah teman-teman almarhum suaminya dan mereka tahu betul perasaan Marni. Karenanya mereka tidak sampai hati mengganggu Marni yang tengah bernostalgia melalui tempat ini.

 

Setelah ketiga anak yang semula bercanda di dekat gubuk menjauh suasana kembali sunyi. Beberapa ratus meter di depan, di area tambang pasir hanya ada beberapa orang saja yang tengah bekerja dengan menggunakan sekop dan cangkul mengeruki pasir. Suasana sunyi ini kembali menuntun Marni kembali pada lamunannya akan peristiwa naas yang menimpa sang suami tercinta.

 

 

 

 

 

Sore itu suasana teramat gelap. Langit hitam dan mencurahkan hujan deras yang tiada henti. Angin berhembus cukup kencang, menggoyangkan ranting-ranting pohon dan menimbulkan suara gemerisik yang cukup bising, angin sekaligus juga menyebarkan hawa dingin sehingga banyak orang memilih tetap berada di dalam rumah seraya melilitkan kain untuk menjaga kehangatan tubuh. Di rumahnya Marni jadi gelisah, karena sang suami tercinta belum juga nampak. Kegelisahan itu semakin parah tatkala ia teringat dengan mimpinya semalam.

 

“Mak, Bapak kok belum pulang juga ya?” tanya Agil yang berada di sisi Marni. Marni tidak menyahuti perkataan anak keduanya. Namun setelah sekian lama terdiam Marni akhirnya berucap,

 

“Mungkin Bapakmu lagi neduh di jalan.”

 

“Neduh gimana, Mah? Kan ujannya dari tadi siang, masa Bapak neduh terus? Apa Agil susul aja, Mah ke tempat bapak nyari pasir?”

 

Marni tentu saja tidak akan membiarkan anaknya yang baru berusia Sembilan tahun itu pergi ke area penggalian pasir. “Jangan sayang, bahaya. Kamu kan sering denger kalo cuaca hujan tambang pasir sering longsor.”

 

“Iya itu dia yang Agil takutin, Bapak….”

 

“Hust!” Marni memegang kepala anaknya. “Jangan berpikir yang macem-macem, Sayang. Kita do’akan saja semoga enggak terjadi apa-apa dengan bapakmu.” Marni mencoba menenangkan pikiran anaknya, walau pikirannya sendiri sejak tadi tidak tenang. Sementara itu, Ina anaknya yang pertama tengah terlelap tidur di depan tv 14 in yang jika distel gambarnya sudah tidak lagi jelas.

 

Menjelang magrib perasaan Marni semakin tak menentu. Kecemasan menguasai hatinya. Pada saat itu, ada dua orang yang berjalan cepat menuju rumah Marni. Bahkan dari cara mereka berjalan seperti ada sesuatu yang darurat yang menutun mereka menuju rumah ini. Marni dan Agil menatapi mereka dari jendela kaca.

 

“Assalamu alaikum!” ucap salah seorang dengan intonasi sedikit berteriak.

 

“Waalaikum salam,” jawab Marni. Dengan cekatan Agil segera membukakan pintu. Marni ikut menyambut dua orang yang ia kenal sebagai teman sepekerja suaminya.

 

“Marni kamu jangan kaget,” kata salah seorang sambil menatap wajah Marni. Perasaan hati Marni yang tidak enak meningkat saat melihat raut kedua orang di hadapannya yang terlihat begitu cemas.

 

“Ada apa, Kang?” suara Marni terdengar bergetar.

 

Orang yang barusan bicara tampak bingung melanjutkan perkataannya. Temannyalah yang kemudian menambahkan, “Suamimu kecelekaan, ia tertimbun longsor.”

 

“Apa!” Marni menjerit histeris. Setelah itu tubuh Marni menggelosor ke lantai. Marni tidak sadarkan diri. Marni kembali sadar setelah jasad suaminya berhasil diangkat dari timbunan longsor serta tengah dikremasi oleh para kerabat dan tetangganya. Melihat kenyataan ini baik Marni dan kedua anaknya tak henti menangis. Menjelang pemakaman Marni kembali pingsan. Kepergian sang suami bukan semata alamat bahwa akan lebih keras kehidupan yang akan Marni hadapi berserta kedua anaknya, tapi juga Marni merasa tidak memiliki pegangan yang dapat membuatnya tabah menjalani kesulitan hidup ini. Tanpa sang suami tercinta Marni akan merasakan hidup ini teramat sunyi dan hampa.

 

 

 

 

 

Untuk yang kedua kalinya lamunan Marni terusik, kini bukan lagi tiga anak yang tengah bermain yang mengusiknya, tapi sebuah tangan yang memegang pundaknya dari belakang.

 

“Marni kamu harus tabah, jadikan semua itu bagian masalalu. Sekarang kamu berada pada hari ini. Enggak baik mengenang masalalu yang membuat kamu terus-terusan bersedih.”

 

Tanpa menoleh untuk melihat wajah orang yang tengah memegang pundaknya, Marni tahu kalau orang tersebut Pak Parjo, lelaki asli Jawa Tengah yang bekerja sebagai mandor di area galian pasir ini. Ia juga yang bertugas menghitung penghasilan dari setiap penggali pasir untuk dihargai dengan rupiah.

 

Marni merasa risih dipegang pundaknya seperti itu oleh lelaki yang bukan suaminya. Tapi kebaikannya itu membuat Marni tidak enak hati untuk menepiskannya. Sejak suaminya meninggal dialah orang yang paling banyak membantu kesulitan ekonomi keluarganya, mulai dari biaya sekolah kedua anaknya hingga biaya makan sehari-hari. Pekerjaannya sebagai pelayan toko memang tidak begitu bisa diharapkan untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidup. Kebaikan Pak Parjo itulah yang membuat Marni mencoba berpikiran positif, bahwa Pak Parjo tidak memiliki maksud lain selain menghibur hatinya.

 

“Terimakasih Pak atas nasehatnya. Seharunya saya emang enggak terus-terusan begini,” ucap Marni sambil bangkit berdiri. Gerakan ini dilakukannya agar pegangan Pak Parjo terlepas dari pundaknya.

 

Marni berjalan lebih maju beberapa langkah. Dari posisinya kini, Marni dapat melihat dengan jelas area tambang pasir yang berbentuk dataran pasir dengan lubang besar. Di lubang itulah orang-orang dari kampung terdekat biasa bekerja sebagai kuli penambang pasir. Namun pada hari yang sudah menjelang magrib ini, para kuli sudah tidak berada di tempat itu. Mereka semua sudah pulang untuk berkumpul dengan keluarga mereka yang sudah menanti di rumah.  

 

Pak Parjo berjalan hingga berada di sisi Marni. “Saya tau kamu begitu mencitai suamimu, tapi kamu enggak boleh menyiksa diri sendiri seperti ini.”

 

Marni menyadari lamunannya akan sang suami tercinta terlampau panjang. Sudah hampir satu tahun ia selalu mengenang kepergian sang suaminya di tempat ini. Dengan berada di tempat ini di saat ia merindukan sang suami, membutnya seolah melihat kerja keras sang suaminya menggali pasir. Ya kerja keras itu tak lain dilakukan oleh suaminya demi dirinya serta kedua anaknya.

 

“Aku tahu betapa terpukulnya perasaan saat ditinggalkan orang yang dicintai. Aku maklum, karena aku pun pernah merasakan itu.”

 

Marni begeming. Tapi sebenarnya Marni ingin mendengarkan kelanjutan cerita Pak Parjo. Marni memang tidak pernah tahu lebih jauh tentang siapa Pak Parjo dan bagaimana latar belakangnya. Marni memang tidak berusaha untuk tahu lebih jauh. Dirinya bisa mengenal Pak Parjo setelah kematian sang suami, itu pun melalui bantuan-bantuan yang diberikan Pak Parjo. Sebagai mandor di area tambang pasir ini memang pantas kiranya Pak Parjo berbuat seperti itu, karena bagaimana pun Marwan adalah anak buahnya juga.

 

“Sepuluh tahun yang lalu istriku meninggal akibat kecelakaan mobil, saat itu istriku juga dalam keadaan mengandung.” Pak Parjo menghela napas berat dan menghembuskannya kencang, seperti tengah mendengus. Marni masih diam, tapi Pak Parjo tahu Marni menunggu kelanjutan ceritanya.

 

“Selama bertahun-tahun aku hidup dalam kesedihan, rasa terpukul itu tidak mudah sirna dari hatiku. Namun akhirnya aku sadar, semua itu adalah masalalu. Aku memiliki kehidupanku sendiri yang harus aku jalani. Lantaran ingin lepas dari bayang-bayang masalalu itulah akhirnya aku pergi merantau ke berbagai daerah hingga akhirnya aku sampai di kota ini dua tahun yang lalu.”

 

Marni memberanikan diri menatap wajah Pak Parjo. Wajah lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu tampak kokoh dan masih menyisakan kegagahan masa mudanya.

 

“Pak Parjo enggak punya anak sama sekali?”

 

Pak Parjo menggeleng. “Janin yang ikut meninggal di rahim istriku itu adalah anak pertamaku.” Dari nada bicara lelaki di sampinya ini membuat Marni dapat menangkap kepedihan yang mendalam. Tanpa sadar Marni pun ikut terharu. Pak Parjo pun kembali meneruskan ceritanya tentang pengalaman hidupnya yang pahit. Termasuk kisah tentang dirinya yang sampai kini masih menduda, Pak Parjo belum menemukan perempuan yang cocok untuk kembali memulai berumahtangga.

 

            Marni sadar hari telah beranjak malam. Tapi ia dan Pak Parjo malah pindah tempat ke sebuah bangunan bertingkat dua, beratap genting dan berdinding papan. Di lantai satu bangunan tersebut adalah tempat pinyaman berbagai peralatan menambang, seperti cangkul, sekop dan alat-alat lainnya. Sedangkan di bagian atas dijadikan tempat bermukim oleh Pak Parjo.

 

Marni diajak naik ke lantai dua. Dari lantai dua yang lumayan tinggi, Marni dapat melihat pemandangan di sekitar tempat itu yang hanya berupa gundukan pasir. Marni tak tahu mengapa dirinya menurut diajak ke tempat tersebut. Keramahan Pak Parjo atau kisah Pak Parjolah yang menghipnotis Marni.

 

Pak Parjo membawa Marni terus menuju balkon. Dan menyilahkan Marni duduk kursi rotan yang ada di tempat itu. Beberapa saat kemudian Pak Parjo pergi ke dapur untuk membuat minuman. Setelah kopi hanya itu jadif, Pak Parjo memberikannya satu kepada Marni. Dengan sopannya Pak Parjo mempersilahkan Marni meminumnya. Sebagai balasan dari kesopana Pak Parjo Marni meminum kopi tersebut beberapa teguk.

 

“Aku saat ini sedang membutuhkan istri Marni,” kata Pak Parjo membuka percakapannya kembali.

 

“Aku butuh teman hidup. Bekerja sebagai mandor di areal tambang pasir membuat aku sering kesepian. Aku ingin memiliki teman hidup.”

 

Marni masih terdiam. Ia masih belum tahu apa yang harus dikatakannya.

 

Pak Parjo seperti ragu untuk melanjutkan perkataannya, sejenak Pak Parjo memperhatikan airmuka Marni. “Aku bermaksud melamarmu kalau kamu tidak keberatan.”

 

Terkejut juga Marni mendapati perkataan itu. “Saya? Bapak mau melamar saya?”

 

Pak Parjo mengangguk. “Iya, aku ingin memperistri kamu. Kamu masih muda, hanya kesibukanmu mencari nafkah yang membuat kamu terlihat lebih tua. Tapi sebenarnya kamu cantik.” Tanpa ragu lagi Pak Parjo menyentuh pipi Marni. Marni merasa perbuatan Pak Parjo melecehkan harga dirinya, tapi entah kenapa ada dorongan yang menggelora yang membuatnya justeru membiarkan sentuhan tangan Pak Parjo di pipinya, bahkan ketika Pak Parjo bersikap lebih berani dengan menariknya berdiri dan memeluknya erat Marni tak kuasa menolak. Di antara api birahi dan kesadarannya yang timbul tengelam, marni menyempatkan melirik kopi yang baru saja diminumnya. Sisa kesadarannya masih mampu menerka, bahwa ada yang tidak beres dengan kopi tersebut. Selebihnya kesadaran Marni hilang, digantikan dengan panas membara yang tidak hanya menguasai dadanya namun telah menjalar ke otak dan seluruh saraf-sarafnya. Hawa panas itu pula yang membuatnya lupa akan almarhum suaminya tercinta, serta kedua anaknya yang tengah menantinya di rumah.

 

Sebulan sejak kejadian tersebut, Marni jadi pendiam. Kesadarannya yang terlambat muncul setelah Pak Parjo mendapatkan yang paling berharga darinya yang membuatnya mengutuki diri. Ia merasa telah menghianati almarhum suaminya serta kedua anaknya. Tapi sesekali Pak Parjo datang ke rumahnya dan membisikan kata-kata rayuan, bahwa Marni tidak perlu menyesali semua yang sudah terjadi. Pak Parjo juga berjanji akan menikahinya. Seraya terus melancarkan rayuannya, sikap Pak Parjo lebih berani dari biasanya. Hingga suatu malam, saat kedua anaknya tengah tertidur, Pak Parjo membawakannya oleh-oleh makanan yang kemudian Marni cicipi beberap potong, setelah itu Marni merasakan gairah yang sama saat berada di balkon rumah yang ada di area tambang pasir. Dan dengan leluasa Pak Parjo mengulangi perbuatannya. Masih sama seperti yang semula, Marni tidak mampu lagi menolaknya. Sejak saat itulah Marni curiga, kalau dirinya sudah kena diperdaya oleh Pak Parjo.

 

Sudah dua bulan lebih Marni terlambat haid. Marni juga kerap mual dan muntah-muntah. Keadaan ini membuatnya curiga. Tapi ia takut untuk sekedar mengira-mengira, apakah dirinya hamil.***

Share This Post: