Rancangan Kematian

19 September 2010

 

            Malam semakin tua. Mengeriput. Menciut dibelai angin malam yang bertiup manja. Di langit sana tak kulihat sepotong bulan pun yang mengapung, sepertinya dia terlalu capek atau bahkan muak barangkali. Tapi muak karena apa? Entahlah! Yang aku tahu, cumbuan-cumbuan angin laut yang berduyun dari Selat Sunda tak mampu membuatnya menampakkan diri dari tadi.

 

            Mataku masih menjajah hamparan laut. Seakan tak terhalang apapun, aku seperti menembus gempuran-gempuran ombak yang bak orang sedang perang. Ya. Hanya dengan mata aku bisa menjajahnya. Kursi roda ini telah merampas kemerdekaanku semenjak peristiwa satu tahun yang lalu. Mataku kembali liar. Puncak Krakatau seakan tak berkutik diterjang mataku. Aku melihat seraut wajah pucat menangis mengiba di seberang sana, seperti memohon padaku. Memintaku untuk datang padanya, memeluknya, dan menciumnya. Aku semakin lekat menatap wajahnya. Semakin jelas pula ku lihat garis-garis masa yang menjalar di kedua ujung matanya. Aku semakin mendekat, namun angin laut semakin kuat pula menarikku. Aku mengulurkan tanganku, agr… aku gagal. Gempuran ombak membuat semua usahaku bernilai sia-sia.

 

            Aku semakin benci pada malam ini. Benci pada ombak yang tak tau kalau aku sedang pusing, benci pada rembulan yang tak  tahu kalau aku butuh teman bisa menemani. Dan aku juga benci pada diriku sendiri yang mengapa harus memilih menjadi insinyur.

 

***

 

            Sebenarnya siang ini aku sedang malas menerima telpon dari siapapun, tapi setelah melihat nomor yang muncul di layar handphone bututku aku tak sampai hati merejeck-nya. Itu adalah nomor dari orang yang amat bersejarah dalam hidupku, tanpa dia tak mungkin aku bisa ada seperti ini, tanpa dia tak mungkin aku bisa bertahan untuk tetap konsisten dengan komitmen yang telah kami sepakati bersama. Jadi sarjana. Itu komitmen yang aku sepakati dengan dia.

 

“ Hallo Assalammualaikum, Mak”

 

Waalaikumsalam… Ren, ini Etek Ros. Pakai nomor amakmu” ternyata yang menelpon Etek Ros, adik amak di kampung.

 

“Apa kabar Tek? Amak mana?”

 

“Amakmu ada di rumah, Etek sekarang lagi di Kumanis, sawah kita yang di sini sudah harus segera ditanami. Tadi Etek membawa hape amakmu” Etek Ros menceritakan panjang lebar semua aktivitasnya siang itu.

 

“Oya Ren. Etek Lis mu akan menikah bulan ini, kau bisa pulang?

 

“O ya??? Dengan siapa Tek?” tanyaku ingin tahu

 

“Dengan Fahmi, teman mengajimu waktu di surau Botung dulu, anaknya Pak Badawi. Bagaimana kau bisa pulang kan?”

 

Insyaallah Tek, bilang sama Etek Lis, akan Rendi usahakan.

 

Etek Lis adalah adik amak paling bontot. Usianya terpaut lima tahun denganku. Aku cukup dekat dengannya. Sewaktu kecil, sering kali aku ikut Etek Lis menggiring kambing ke Pincuran Tinggi atau mengaji di Surau Botuang. Etek Lis adalah orang yang paling ngotot kalau soal mengajariku mengaji. Maka tak aneh, umur empat tahun aku sudah lancar membaca abata, an in un, ban bin bun, tan tin tun, dan seterusnya. Kemampuan yang langka untuk ukuran anak-anak desaku yang terbelakang. Begitu dekatnya aku dengan Etek Lis, maka aku putuskan untuk bisa hadir di hari paling bersejarah dalam hidupnya nanti.

 

            Keputusanku untuk pulang ke Pariaman sudah matang. Bukan semata karena ingin bisa hadir di hari pernikahan Etek Lis atau sekedar ada di foto keluarga saat beliau basandiang memakai Suntiang Gadang[1] di pelaminan. Kepulanganku juga untuk amak. Sudah rindu sekali rasanya aku pada wanita yang menjadi pintu surgaku. Sudah tiga tahun aku meninggalkan nagari Sungai Sarik yang hijau itu.

 

Assalammualaikum Uda”  Suara Kang Jajad dengan logat Sundanya menggema di pintu kamar kost ku.

 

Waalaikumsalam Kang Jajad, Kaifa Haluka? Jawabku sembari tersenyum

 

Alhandulillah Bikhoiry, wah mau kamana nih, mau pulang kampung tah?

 

“Hehe, mau ngisi liburan di kampung kang. Ini sudah semester keenam, bosan juga dengan suasana Cilegon” jawabku sekenanya sambil mengunci resleting koperku.

 

“Wah wah…jangan lupa bawa kripik balado yang sering antum ceritakan eta nya’!”

 

InyaAllah”

 

Itulah Kang Jajad. Senior satu angkatan di atasku. Aku banyak belajar dari hidup beliau. Kebetulan sudah beberapa kali aku ke rumahnya di Pandeglang, kehidupan keluarga nya tak jauh berbeda dengan keadaan keluargaku di kampung. Tapi prinsip hidupnya yang tidak bisa ditawar tawar itu yang membuatku kagum. Keberhasilan itu lebih memihak kepada yang lebih berani. Berani untuk pernah gagal, berani untuk ditertawakan. Kalimat yang sering kali aku dengar dari mulut Kang Jajad. Ternyata dia ada benarnya juga, terbukti meski beberapa judul skripsinya selalu ditolak dan dinilai tidak logis, tapi kang Jajad selalu mempertahankn prinsipnya. Alasannya selagi di jalan yang benar dan dengan cara yang benar, Allah akan memberi kekuatan dari sisi-sisi yang tak pernah kita duga. Luar biasa! Dalam minggu ini beliau akan sidang skripsi dan segera menyandang gelar sarjana teknik. Gelar yang sama yang pernah aku ceritakan pada amak waktu aku memilih kuliah di jurusan Teknik Sipil dulu.

 

Terkadang aku suka tersenyum sendiri. Misalnya aku ingat ketika amak menanyakan apa itu insinyur, untuk apa kuliah jauh-jauh ke tanah Jawa hanya menghabiskan uang saja. Pertanyaan-pertanyaan yang kadang membuat aku geli. Mungkin amak menanyakan hal yang benar menurut pola pikir yang telah terlalu melekat di benak orang-orang kampungku. Paradigma yang menyatakan kuliah ke luar daerah hanya menghabiskan uang, membuat miskin karena untuk kuliah anak-anak mereka, mereka harus menjual tanah, sawah, dan ternak-ternak mereka dulu.

 

Tapi aku selalu ngotot untuk bisa kuliah dan menyandang gelar sarjana teknik. Walau tak sedikit yang mencibir ketika amak mengatakan pada tetangga kalau aku akan menjadi Insiyur pertama di kampung ini. Lebih-lebih Pak Badawi yang sebentar lagi akan menjadi bapak mertuanya Etek Lis. Hmm… ini akan menjadi kesempatan baik bagiku untuk menjelaskan apa itu kuliah.

 

***

 

25 Juli 2003

 

Ranah Minang masih persis seperti waktu aku tinggalkan dulu. Gonjong-gonjong sebagai simbol khas Minang masih gagah bergojong di setiap atap bangunan. Sepintas tak ada yang berubah. Lebih-lebih Nagari Pariaman ini, masih kokoh dipaku pohon-pohon kelapa. Hamparan padi masih menghijau bak permadani.

 

Aku sudah menyiapkan segudang argumen untuk membuat pak Badawi tak berkutik. Dalam hati aku terbahak, membayangkan betapa dia akan malu dan menyesal pernah menertawakan keputusan amak menjual sawah untuk biaya kuliahku.

 

Agustus 2003

 

Udara Pariaman masih basah. Seminggu ini hujan seakan tak mengizinkan orang-orang di kampungku itu untuk berleha-leha. Sebab, musim hujan bearti musimnya masyarakat untuk bergelut dengan cangkul, bajak, dan lumpur. Aku lemparkan pandangan jauh ke depan. Kemudian mendarat di puncak Tandikek yang membiru. Semilir angin gunung mengalir di rongga hidungku untuk kemudian memenuhi paru-paru dan akhirnya ku hembuskan kembali. Segar. Dari tadi bibirku tak lelah merajut senyum. Desa kelahiranku ini benar-benar desa nan elok. Rancak Bana!

 

Aku menyusuri jalan setapak di sepanjang pematang sawah. Sembari sesekali mengabadikan burung-burung pipit yang bertengger di dahan padi dengan kamera hapeku. Langkahku berhenti beberapa meter di depan dangau-dangau sawah. Aku tersenyum girang. Ada Pak Badawi.

 

Assalammualaikum Pak” aku menyapanya bercampur senyum seramah mungkin. Aku harus terlihat berwibawa dan terpelajar.

 

Waalaikumsalam, masuk! Masuk Ren” Pak Badawi menyambut salamku dan mempersilahkan aku masuk ke atas dangau-dangau sawahnya.

 

“Wah, ndak lama lagi panen ya Pak” aku membuka pembicaraan

 

InsyaAllah seminggu lagi, Ren.”

 

Aku duduk di samping Pak Badawi. Kemudian mengambil beberapa daun aren kering dan menggulungnya dengan sedikit tembakau. Setelah itu mulutku bak cerobong asap kereta api menyemburkan gumpalan-gumpalan asap.

 

“Kudengar dari amakmu kau sebentar lagi mau wisuda. Berapa lama lagi?”

 

“Wah… Doakan saja Pak, mudah-mudahan tahun depan bisa jadi insinyur” Tiba-tiba hatiku ingin di sanjung dengan kata insinyur. Aku merasa begitu besar dibandingkan Pak Badawi.

 

“Insinyur? Kenapa tidak jadi guru saja kau Ren? Biar bisa mengajar di kampung kita ini”

 

“Wah… Kalau jadi guru kapan kayanya saya, Pak?” aku tertawa mendengar saran Pak Badawi.

 

“Bearti nanti kau akan bekerja di kota?”

 

“Iya Pak, mungkin di Jakarta” jawabku dengan nada yang sengaja aku buat agar terdengar membanggakan.

 

Kulirik Pak Badawi mangut-mangut. Aku melihat ini kesempatan yang tepat untuk membuat orang yang meremehkanku itu semakin mesara kecil di mataku.

 

“Untuk mendapatkan gelar insinyur itu tidak gampang, Pak. Harus belajar keras. Tidak sama dengan mendapatkan gelar sarjana pendidikan atau sarjana sosial”.

 

“Kanapa, Ren. Bukannya sama-sama sarjana?” Pak Badawi sepertinya mulai tepancing dengan penjelasanku barusan.

 

“Sarjana pendidikan seperti Fahmi mungkin bisa didapatkan dengan mengandalkan teknik hapalan, Pak. Tapi untuk jadi insinyur harus melakukan sesuatu yang lebih. Bapak tahu, gedung-gedung pencakar langit di kota-kota itu di rancang oleh seorang insinyur. Pesawat, mobil, dan mesin-mesin super canggih itu juga dibuat oleh insinyur” aku kembali membuat Pak Badawi mangut-mangut.

 

Senja mulai menguning. Burung-burung terbang berbondong-bondong menuju sarang mereka. Puluhan atau mungkin ratusan kata yang belompatan dari mulutku dari tadi rasanya sudah cukup membuat Pak Badawi jadi paham apa itu insinyur.

 

“Oya, kalau bisa nanti Bapak dan Fahmi bisa datang di acara wisudaku” ucapku sebelum beranjak meninggalkan Pak Badawi dengan dangau-dangaunya.

 

28 September 2009

 

Bulan baru. Aku akan segera menyaksikan hasil rumah rancanganku. Rumah dengan rancangan unik dan tak kalah mewah yang kupersembahkan untuk amak. Sebuah rumah yang akan menjadi penyempurna gelar sarjana teknik yang akan baru aku sandang.

 

Foto yang dikirim Etek Ros sangat membuat aku bangga. Terlihat amak dan kedua Etek-ku berdiri dangan senyum menawan berlatarkan rumah mewah hasil rancanganku. Sempurna!

 

Aku semakin tak sabar menunggu bulan ini segera berlalu dan bisa pulang ke Pariaman. Sebab, atasanku telah berjanji akan memberikan cuti untukku bulan depan.

 

29 September 2009, 14.07 WIB

 

            Aku mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Kepulanganku sengaja tak aku beritahukan pada amak dan keluargaku yang lain. Aku ingin memberikan kejutan buat mereka. Honda Jazz biru membelah aspal yang menghubungkan kota Padang dan Pariaman. Melewati tugu Tabuik, aku meluncur ke arah barat. Jalanan yang di apit sawah dan kebun-kebun masyarakat. Sesekali aku melewati laki-laki bertelanjang dada dengan mengiring beberapa ekor kerbau. Mungin mereka akan menuju sawah untuk membajak atau sekedar mengarak ternak mereka itu untuk merumput di kaki bukit buki-bukit.

 

            Di bawah tebing cadas  aku memarkir mobilku. Kulepaskan pandangaku dengan liar ke depan dan akhirnya berhasil menerkam sosok laki-laki paruh baya dengan dangau-dangau sawah. Pak Badawi.

 

            Baru beberapa langkah aku menyeret kakiku di pematang sawah, tiba-tiba bumi berguncang. Bagai gelombang besar di perut bumi, kemudioan menjalar ke permukaan. Meluluhkan apa saja yang dilewatinya. Aku bursujud menyatu dengan tanah. Genggamanku mencengkram dengan kuat pada apa saja yang bisa kupegang. Bumi bergetar makin menjadi-jadi. Hamparan padi di depanku tak ubahnya seperti samudra yang tengah dihempas badai.

 

“TRAK…TRAK…” jalan raya di depanku terbelah dua. Membentuk garis panjang yang bekelok-kelok. Seperti lukisan halilintar. Hitungan detik kemudian suara mendengun seperti pesawat shukoy menendang gendang telingaku, diikuti pohon-pohon yang membungkus bukit-bikit di kiri jalan meluncur seperti dipasangkan roda dan akhirnya tumbang menutupi ruas jalan. Aku tak lagi melihat mobilku. Yang ada hanya gundungan pasir cadas dan beberapa pohon yang lalang melintang.

 

Aku memejamkan mataku. Kiamatkah? Ya! Dunia akan kiamat. Itu yang ada di pikiranku. Aku berusaha untuk bangkit dan berlari sejauh mungkin. Atau setidaknya bisa ke tengah sawah. Sebab itu satu-satunya tempat yang jauh dari tebing-tebing cadas yang siap menguburku hidup-hidup.

 

Agr! aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Tiba-tiba terasa sangat berat. Aku membuka mataku pelan-pelan. Oh Tidak. Aku juga tak melihat kakiku di mana. Sebuah pohon besar bertengger tepat di atas kedua pahaku. Mematikan semua energi yang aku salurkan untuk bergerak. Tidak! Tidak! Aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Kau akan lumpuh? Oh tidak.

 

“SEEER….” Lautan catas kembali menghujani tubuhku yang sudah tak berdaya. Dan untuk selanjutnya aku tak tahu apa yang terjadi.

 

***

 

            Aku mendapati ruangan serba putih ketika membuka mataku. Aroma obat mengeroyokku tiba-tiba. Rumah Sakit. Sekelebat bayangan wanita-wanita muda bersegagam putih juga melintas di depanku. Aku semakin yakin kalau ini rumah sakit.

 

            “Anda sudah siuman?” wanita itu tersenyum padaku.

 

            “Apa yang terjadi Suster?” aku berusaha menggetarkan pita suaraku, namun masih terdengan lirih.

 

            “Anda selamat dari gempa yang mengguncang Sumatera Barat, Pak” jawab suster itu sambil memeriksa tekanan darahku.

 

            “Gempa?” aku kembali membuka mulutku.

 

            “Ya, tim SAR menemukan anda di tertimbun pasir cadas, saat itu kondisi anda sangat kritis. Beruntung anda segera di rujuk ke rumah sakit ini” wanita itu kembali menjawab pertanyaanku.

 

            Kemudian pintu kamar tempat aku dirawat terbuka. Ternyata Etek Lis dan suaminya, Fahmi.

 

            Etek Lis menetapku sejenak, kemudian membuang pandangannya menjauhi tubuhku. Aku sempat menangkap matanya yang tiba-tiba tumpah.

 

            “Tek…?” aku memanggilnya.

 

Etek Lis kembali menatapku, namun masih tanpa suara. Kemudian dia menyeka dua bitir kristal bening yang tadi sempat jatuh dari kelopak matanya.

 

            “Etek kenapa menangis? Rendi tidak apa-apa, Tek” aku memcoba kuat di depannya.

 

            Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling ruangan. Ada sesosok bayangan yang tak berhasil aku tangkap.

 

            “Amak mana, Tek?”

 

Tek Lis kembali diam. Aku mengambil tangannya dan menggenggamnya lalu membawanya ke dadaku. Tangis Etek Lis kembali pecah.

 

            “Nyaris, Ren”

 

            “Nyaris????”

 

            “Amakmu ditemukan dibawah reruntuhan rumah. Kondisinya masih kritis, tapi kau tak perlu risaukan itu. Tim dokter tengah mengupayakan yang terbaik.” Etek Lis akhirnya menjawab pertanyaanku yang sesungguhnya.

 

***

 

            Dari luar kaca kuamati tubuh ringkih amak terbaring lemah. Setetes. Dua tetes bening tak kuasa aku bendung. Aku tersedu. Dalam hati aku tiba-tiba membenci diriku sendiri. Aku benci kenapa harus menjadi seorang insinyur yang merancang kematian ibuku sendiri.

 

            Dua jam aku habiskan mengenang semua tentang amak. Amak yang selalu membanggakanku, amak yang membanting tulang untuk biaya kuliahku. Dan sekarang amak terbujur tak mampu bergerak. Amak tengah menanti sebuah keajaiban dari Tuhan.

 

            “Ya Allah, Biarkan aku yang terbujur di ruangan itu. Jangan amak” aku berbisik dalam tangisku yang tertahan. Dua bening tadi kini telah menganak sungai membelah pipiku. Aku kembali tersedu sembari menyeka air mataku. Aku genggam tangan amak kuat-kuat. Seakan tak ingin dia pergi meninggalkan aku sendiri. Saat ini hanya amak harta paling beharga yang aku punya.

 

            Tiba-tiba aku merasakan tangan amak bergerak. Aku bangkit dan girang luar biasa.

 

            “Mak…. Mak… Ini Rendi, Mak” Aku tak mampu membendung kegembiraanku

 

Amak membuka matanya perlahan, kemudian bibirnya merekah. Seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun aku tak butuh itu sekarang.

 

            “Ssttt… amak jangan banyak bicara dulu. Amak” aku berbisik

 

            Aku rebahkan kepalaku di kedua telapak tangan amak. Dingin.

 

            “Maafkan Rendi, Mak. Rendisungguh mencintai amak” Kata-kataku tak mampu lagi berlompatan. Aku hanya ingin memberikan seluruh energiku pada amak agar tangan-tangannya kembali hangat (*)

 

 

 

 


[1] Hiasan kepala mempelai wanita dalam upacara perkawinan masyarakat Minangkabau

Share This Post: