Masih Adakah Surga di Kaki Mimi?

Jika suatu hari nanti, di saat aku sudah kehabisan kata untuk menguraikannya. Di saat lidahku telah kelu tak mampu lagi menggetarkan pita suara. Dan kau bertanya “Siapa orang yang paling kau sayangi di dunia ini?” Di saat itulah aku akan merasa menjadi manusia paling malang yang pernah diciptakan. Bukan mengapa? Aku tidak tahu, kawan. Atas dasar apa yang bisa akan aku jadikan parameter untuk menerjemahkan apa itu rasa sayang. Sayang… Apakah itu perasaan di saat kita merasa nyaman pada seseorang? Ah, terlalu umum aku rasa. Bila menurutmu sayang itu demikian. Aku selalu nyaman bila berada di tengah sawah yang hijau, aku selalu merasa nyaman bercerita dengan Bu Karsih, pemilik warung tegal di ujung jalan pertigaan ke kost-anku itu. Bearti aku sayang pada burung-burung pipit yang membuat aku nyaman berada di tengah sawah, mmmm… Bearti aku juga sayang pada Bu Karsih??? Beuh!!! bukan rasa sayang seperti itu yang aku maksud, Kawan.

 

Pernah aku bertanya pada Arul, sahabatku semenjak di sini. Sebenarnya dia bukan mahasiswa seperti aku. Arul itu hanya seorang tukang gorengan. Katanya dia asli Tegal, hmm,,, tentu bila kau kupertemukan dengan sahabatku ini, kau akan tersenyum mendengarnya berceloteh dengan logat Tegalnya yang masih kental itu, Kawan.

 

“Rul, aku mau nanya sesuatu sama kamu, mau ndak ngedengerin aku crita?” kataku pada satu sudut malam.

 

Opo iku mas” jawabnya tanpa menghentikan mengaduk bakwan dan dading dalam penggorengan di sampingnya itu. Dia masih memanggil aku mas. Padahal sudah berkali kali aku katakan sama dia kalau aku ini orang Jakarta, jadi dipanggil abang saja. Tapi itulah si Arul. Katanya lidahnya tidak biasa mengucapkan kata abang. Yo Wis, terserah koe lah Rul. Aku gak permasalahan hal itu.

 

“Kamu punya orang yang di sayangi gak?”

 

Arul menghentikan aktifitasnya sejenak, tapi tetap tak menoleh padaku.

 

“Ya ada lah Mas Dep, yang jelas aku sayang karo ibuku, karo bapakku. Ya… meskipun ibuku sudah ndak ada lagi. Tapi dia iku selalu jadi bagian yang bisa aku lupakan”.

 

“Maksudmu?”
“Ibuku sudah meninggal Mas, sudah dua tahun”

 

Aku terdiam. Aku merasa bersalah telah membuat si Arul jadi bercerita tentang ibunya yang sudah meninggal.

 

“Maafin aku ya Rul”

 

“Ndak apa-apa mas. Mas Dep ndak mudik lebaran iki?”

 

“Ngapain Rul? Aku mau lebaran di sini saja. Sama kayak lebaran kemaren” Jawabku ringan

 

“Ya kumpul-kumpul sama orang yang disayangi lah Mas Dep. Mas Dep ndak ada orang yang disayangi toch?”

 

Pertanyaan Arul tidak aku jawab malam itu. Aku bukannya tidak bisa menjawab, tapi saat itu aku memang tidak tahu harus menjawab apa. Arul mempunyai almarhum ibu yang begitu disayanginya. Walaupun tidak mungkin bisa bertemu, setidaknya dia masih bisa berziarah ke makam orang yang disayanginya itu. Sedangkan aku? Ah… aku sungguh tidak tahu kawan, aku harus pulang untuk siapa.

 

*** 

 

Sebenarnya dulu, dulu sekali. Aku punya orang yang sangat aku sayangi. Waktu itu aku sangat beruntung menjadi bagian dalam kehidupannya. Katanya padaku, aku adalah pelengkap kebahagiaan keluarga kecil yang dibinanya 25 tahun lalu. Itulah mimiku. Mimi yang begitu sempurna. Tak sorang pun aku biarkan berkata yang jelek tentang mamiku.

 

Pernah suatu hari aku pulang dengan tampang yang sangat kusut dan seragam putih abu-abuku sudah tak beraturan. Ditambah dengan memar di pelipis kiriku.

 

“Defri… Kamu berantem lagi? Harus berapa kali sich mimi harus bilangin kamu? Lihat! Baju kamu sampe kotor begitu. Memar di sana sini. Kamu ini keras kepala Def!!!”  Mimi mengomeliku sambil mengemasi peralatan Make Up nya.

 

“Tapi aku gak suka mereka bilang mimi yang nggak-nggak!” jawabku membela diri

 

“Bilangin mimi gimana?”

 

“Pokoknya mereka bilang yang jelek-jelek semua tentang mimi”

 

Mimi tidak lagi menyahuti pembelaanku. Dia selalu sibuk. Sama seperti siang ini. Aku perhatikan tangan mimi dengan sigap menyambar tasnya.

 

“Mimi mau pergi lagi?”

 

“Mimi ada show di TV, Def, habis itu ngisi acara off air di Hotel Permata. Jadi kamu makan duluan aja ya. Mimi mungkin nginap di hotel malam ini.” Mimi pun berlalu menyisakan perih di hatiku. Begitulah kawan. Mimiku seorang yang sangat sibuk. Mimiku lebih memilih jumpa fans dari pada menemaniku makan siang bersama pipi. Mimiku lebih suka hang out di mall dari pada menemaniku piknik dengan pipi. Ah kawan, mimiku kini bukan lagi mimi yang dulu.

 

Juli telah berlalu separuh. Bagai disambar petir, hatiku hangus  mendengar pengakuan mimi. Gosong dan berterbangan.

 

“Kami sudah tidak cocok lagi, Def. Kamu harus ngertiin mimi dong”

 

Ngertiin apa Mi? Ngertiin kalau mimi menghianati pipi?” suaraku bergetar

 

“Menghianati bagaimana? Pipi sudah tidak sayang lagi sama pimi. Itu saja”

 

“Ini gak adil Mi…!!!”

 

“DEFRI…!!! Kurang ajar kamu ya” Suara mimi berubah meninggi. Mukanya merah padam seakan ingin membakarku hidup-hidup. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi mimi kala itu. Di satu sisi aku amat menyayangi wanita yang melahirkanku itu. Namun, di lain sisi Mimi telah berubah. Tiba-tiba mataku memanas, dua bening jatuh tanpa bisa aku tahan. Dan aku juga tidak tahu. Apa aku menangis atau hanya keringat yang timbul akibat panasnya hatiku mendengar pengakuan mimi ingin cerai dari pipi.

 

Penghujung Juli

 

Hatiku benar benar remuk. Bagai di tengah badai pasir, aku terkubur tak bedaya. Air mataku sudah kering. Yang ada hanya kebencian pada mimi. Oh Tuhan, ampuni aku!

 

Kau tahu Kawan? Tadi siang aku melihat mimi berciuman dengan om Rudi. Teman bisnis pipi. Darahku membuncah sampai ke ubun-ubun. Dengan tanpa dosa mimi kemesraan di atas luka hatiku dan pipi. Ah, malang nian kau Pi. Aku percaya, pipi pasti sangat hancur. Tapi aku lebih hancur lagi Pi.

 

“Defri… Kamu berantem lagi. Harus berapa kali sich mimi harus bilangin kamu? Lihat! Baju kamu sampe kotor begitu. Memar di sana sini. Kamu ini keras kepala Def!!!” 

 

“Tapi aku gak suka mereka bilang mimi yang nggak-nggak!” Jawabku membela diri

 

“Bilangin mimi gimana?”

 

“Pokoknya mereka bilang yang jelek-jelek semua tentang mimi”

 

Dialog yang amat aku sesalkan dengan mimi. Aku terlalu percaya dengan sosok mimi yang ternyata tidak seperti miminya Arul. Mimiku bukan malaikat seperti mimimu, Kawan. Mimiku dulu memang seperti bidadari. Dipuja! Disanjung, senyum mimi mampu membuat kau dan pipi bertahan tidak makan dua hari. Ah! Aku rasa itu terlalu lebay. Tapi itulah kenyataannya kawan. Dulu mimi adalah primadona di keluargaku, bahkan mungkin juga primadona bagimu.

 

***

 

Agustus yang basah

 

Hujan masih mengguyur kota seperti bulan kemeren. Dimana mana banjir. Kontras dengan mataku yang kerontang. Angin membuatku beku pada sudut malam. Pukul 00:41. Sudah terlalu larut. Matahari mungkin sudah asyik mendengkur di peraduanya dari tadi. Namun tidak denganku. Entah kenapa. Mimi tida-tiba tak bisa beranjak dari pikiranku dari tadi. Mi…. Aku kangen mimi. Mimi lagi ngapain? Oya Mi. Mimi tau gak? Sekarang pipi sudah gak bekerja lagi. Dia lebih banyak melamun berdiam diri. Pipi sudah jarang sekali tersenyum mi. Mi… Mimi kapan pulang? Mimi harus tahu, pipi begitu menyayangi mimi. Oh… Aku rindu sekali berada dalam pelukan hangat mimi. Kecupan mimi. Dan senyum mimi.

 

Tapi itu mungkin tak kan pernah lagi aku dapatkan, kawan. Mimi kini telah pergi. Ledakan besar memorakporandakan rumah mimi di dengan om Rudi. Aku tidak tahu apa rumah mimi di bom atau apa. Ledakan tabung gas mungkin? Entahlah kawan. Waktu itu aku tidak mau tau, aku hanya melihat sepintas dari televisi.  Tapi malam ini kawan. Aku sangsi dengan diriku sendiri. Aku seakan ingin mati saja. Ah tidak! Aku tidak ingin mati. Aku ingin hidup saja selamanya. Kalau aku mati, apakah masih ada bau surga untukku kawan? Bukankah surga itu ada di bawah telapak kaki Ibu? Tapi tunggu dulu. Apakah itu juga berlalku untuk ibu seperti mimiku?  Masih adakah surga di kaki mimiku setelah dia menghianati pipi? Setelah mimi meninggalkan aku dan pergi dengan om Rudi.

 

***

 

Malam semakin keriput. Begitu pun dengan dagangan Arul hanya tingaal remah.

 

“Sudah mau tutup Rul?”

 

“Iya Mas Dep… beneran ndak mudik tah?”

 

Aku hanya tersenyum kecut.

 

“Pulang Rul Aku titip salam buat ibumu ya.”

 

“Lha??? Kan aku wis bilang ibuku sudah meninggal Mas”

 

“Oh, Maaf. Ya sudah. Salamku buat keluargamu saja ya. Aku mau masuk dulu. Selamat Puasa.

 

“Sama-sama Mas Dep. Maaf lahir bathin”

 

Besok Agustus akan memasuki hari ke sebelas. Itu artinya besok akan puasa. Oh Tuhan. Aku benar-benar ingin menangis di kaki mimi malam ini. Berharap masih ada kunci surga yang dapat aku temukan di sana (*)

Share This Post: