PR MATEMATIKA JU

 

Hujan turun, mengetuk-ngetuk. Di atap seng, jendela, pintu dan kaki-kaki dinding luar. Orang-orang di lantai atas sibuk beradu celoteh, acap berteriak meningkah deru hujan. Beberapa menit sekali langkah-langkah berat berdentam-dentam kesana-kemari, membuat lantai kayu tua berderak-derak di atas kepala Ju. Gaduh. Berisik sekali. Tak tahukah mereka kalau aku nyaris sulit bernapas terbelit sepuluh soal Matematika, bahkan sebelum hujan tiba? Ju menggerutu dalam hati.

    Matematika, entah kenapa, selalu hadir membonceng gerombolan penyakit dadakan yang membuat putaran otak Ju bekerja semakin melambat. Sesak napas, sakit kepala, sakit mata, sakit perut, mengantuk hingga sesak buang air. Dan itu membuatnya frustasi. Belum lagi orang-orang yang berisik di lantai bawah dan atas. Tak ada yang menghiraukan kesulitannya.

    "Kamu harus rajin belajar, Ju. Biar pinter, jadi orang besar kayak bapak-bapak pejabat di tipi itu. Jangan males kayak Bapak dan Emak dulu. Akibatnya gini nih, Bapakmu cuma bisa kepake jadi kuli bangunan. Sementara Emak, cuma jadi tukang cuci. Nggak ada hebatnya." Emak tak pernah bosan mengulang-ulang kalimat itu pada Ju, setiap kali ia mengeluhkan sulitnya Matematika. Seperti hari ini.

    "Tapi Mak, jadi orang pinter itu capek," tukas Ju. "Belajaaaar melulu, kayak Sholeh. Nggak pernah main keluar."

    "Lha, kalau mau berhasil ya harus capek. Belajar. Kelak kalau sudah besar baru akan menerima hasilnya. Jadi orang hebat, kaya, punya mobil dan rumah bagus. Memang Ju nggak pengen?"

Emak masih terus menyemangati. Ju menunduk. Punya mobil, rumah bagus, siapa juga yang nggak mau. Tapi belajar, Matematika pula?

    "Ju, kamu harus sabar. Emak memang nggak bisa membantu mengerjakan pe-ermu. Emak nggak ngerti. Jadi, apa salahnya kamu berteman dengan Sholeh dan minta diajarin sama dia cara mengerjakannya," bujuk Emak. Tunduk Ju semakin dalam.

    Ju belum beranjak dari tempatnya. Ia duduk mencangkung sambil memelototi deretan soal yang tak satupun berhasil dikerjakannya. Ke rumah Sholeh? Ah, tidak. Ju enggan mendatangi rumah teman sekelasnya itu, meskipun letaknya tak begitu jauh dari rumah Ju. Gengsi, ketahuan bodohnya.

    Seingat Ju, ia masih bergumul dengan angka-angka, ketika segala sesuatu, sekitar dan berisik yang begitu nyata, lenyap termakan hening. Hening sekali. Diketahui kemudian kalau ia tertidur tatkala serangkaian gambar tak berurutan melintas lambat di depan matanya, seperti gerbong kereta mainan yang kerap dilihatnya di pasar malam. Mata Ju mengerjap-ngerjap dalam pejaman, mencoba melihat lebih jelas gambar-gambar di tiap gerbong mimpinya.

    Gerbong pertama di belakang lokomotif membawa Emak dan Bapak. Keduanya duduk di tepi jendela dengan wajah muram. Bersesak-sesak dalam gerbong itu, orang-orang yang menghuni rumah-rumah di kanan dan kiri tempat tinggal Ju, juga orang-orang berisik di lantai atas. Mereka juga berwajah muram, dengan dahi berlipat-lipat, ujung mata mengerut dan bibir yang mengatup rapat. Tak ada yang berbicara. Semua pandangan tertuju pada sisi-sisi kosong, dinding, lantai, atap dan udara yang kasat mata.

    "Emak!" Ju mencoba menyeru. Lirih, lenyap ditelan angin yang meliuk-liuk berkesiur. Gerbong Emak terus melaju, meninggalkan Ju. Ju mengeluh. Kenapa seluruh tubuhnya kaku? Padahal ia ingin ikut dengan Emak dan Bapak?

    Ju tak sempat berpikir lama. Gerbong kedua melintas, membawa tumpukan angka-angka dan simbol-simbol yang bertumpang-tindih, jungkir-balik tak beraturan. Angka-angka itu, simbol-simbol itu, semuanya termuat dalam soal-soal di buku matematikanya. Bedanya, angka-angka dan simbol-simbol yang dilihat Ju sekarang memiliki wajah. Ya, mereka memiliki mata, alis, hidung, mulut dan telinga. Ekspresi mereka bermacam-macam. Ada yang tersenyum, cemberut, datar, marah dan sebagainya. Ju terperangah. Astaga, angka-angka berwajah? Kemana mereka akan pergi? Satu tujuankah dengan Emak, Bapak dan orang-orang di gerbong pertama?

    "Ju, kamu harus belajar mencintai matematika, agar otakmu terbuka dengan sendirinya saat memecahkan soal-soal. Sebenarnya matematika itu tak sulit kok. Tapi kalau belum apa-apa kita sudah membencinya dan menganggap matematika itu sulit, ya semakin sulit saja jadinya. Matematika itu inti kehidupan lho, tentang bagaimana menambah, mengurangi, mengalikan dan membagi apa yang kita miliki." Kata-kata Pak Nadi, wali kelasnya, mengiang di benak Ju. Ia melepas gerbong kedua dari jangkau pandangannya dengan kepala sarat tanda tanya.

    Gerbong ketiga melintas, tanpa isi. Tapi percik-percik air yang meloncat-loncat di permukaan jendela yang tertutup rapat mengulik rasa penasaran. Ju menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. Air. Ada air di gerbong ketiga. Ju tak habis pikir, bagaimana mungkin? Air berkecipak, berayun-ayun mengikuti irama kitaran roda yang menggoyang gerbong. Ah, air? Aneh. Ju semakin terpana, gerbong keempat, kelima, keenam dan seterusnya, juga membawa air. Semata air. Gerbong-gerbong itu seperti tak habis-habisnya. Ini rangkaian kereta terpanjang yang pernah dilihat Ju. Akan kemana air-air itu dibawa? Negeri mana yang kekurangan air sehingga harus mengimpor air dari daerah lain? Ju menggeleng-gelengkan kepalanya yang semakin berat. Tiba-tiba saja Ju merasa sangat kedinginan. Rasa dingin itu menjalar dari kaki. Ju ingin membuka mata, namun kelopak matanya seperti ditindih benda berat, berat sekali.

    "Ju, Ju, bangun! Ayo cepat ke atas, sebelum air bertambah tinggi!!" Seseorang mengguncang-guncang tubuh Ju dengan kasar, setengah panik. Ju memaksa matanya terbuka, seiring rasa dingin di kaki yang kian terasa. Seorang perempuan kurus bermata juling berdiri di sampingnya dengan wajah tak sabar. Bu Aryo, salah seorang penghuni lantai atas. Ju menatapnya dengan sedikit rasa kurang senang karena tidurnya yang terganggu.

    "Bangun, Ju! Ayo, cepetan naik ke atas. Banjir, nih. Emakmu nelpon barusan, mengingatkan  kalau kamu ada di sini. Kata Emak naik saja dulu ke atas. Emak masih di rumah majikannya." Ju linglung. Ia berpaling menatap ke sekeliling ruangan. Air. Ada air di rumahnya! Ju menunduk, air menyembunyikan sambungan pangkal pahanya. Ju teringat mimpinya; air di gerbong! Apakah mereka membongkar muatan di rumahnya?

    "Ju!!" Sebuah bentakan dengan renggutan kasar di lengannya membuyarkan lamunan Ju. Ia tersentak kaget dan berusaha melepaskan diri.

    "Iya...iya. Ju naik sendiri. Ibu duluan saja, deh."

    "Nggak bisa. Ibu harus sama-sama dengan kamu. Nanti kalau ada apa-apa, Ibu yang disalahkan emakmu." Ju manyun. Bergegas ia mengemasi buku-bukunya dan mengikuti langkah Bu Aryo keluar rumah, menyibak air yang terasa membebat langkah. Ju limbung sesekali karena tubuh kurusnya hilang keseimbangan diayun riak.

    "Ngapain kamu, Ju? Ngerjain pe-er?!" Seorang lelaki membungkuk di depan Ju yang duduk membungkuk di lantai kayu. Ju mengangkat kepalanya dan mengangguk kemudian, sesaat mengenali penyapanya. Salah seorang penghuni lantai atas. Saat ini Ju berada di lantai atas, tempat bermukim orang-orang yang beberapa jam lalu diserapahinya.

    "Matematika?" Ju mengangguk lagi. Lelaki itu terbahak.

    "Sudahlah, Ju. Tak usah capek-capek belajar matematika. Nanti juga lihai sendiri." Lelaki itu mengibaskan tangannya di depan Ju. Meremehkan.

    "Kata Emak, Ju harus rajin belajar, Kang. Biar bisa jadi orang hebat. Biar cepat kaya dan bisa membahagiakan Emak," sahut Ju polos. Lelaki itu kembali terbahak. Tubuhnya berguncang-guncang, sepasang matanya berair dan liurnya meleleh karena tawa yang tak berkesudahan. Saat hampir mereda, ia menatap Ju, lalu tawanya kembali membahana. Seseorang berlari menghampiri mereka. Lelaki, kurus, bermata cekung dan berambut cepak dengan jambul menggulung di atas dahi.

    "Meriah sekali, Kang? Ada yang lucu? Bagi-bagi dong. Saya ngeliat dari ujung sampai penasaran. Ada apa, Kang?"

    Lelaki yang terbahak berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan tawanya. Telunjuk kanannya menuding Ju yang memasang tampang bingung. Ia tak tertawa. Ju tak paham apa letak kelucuan kalimatnya. Ju menunggu lelaki di depannya berhenti tertawa. Ia harus menunggu untuk bisa bertanya.

    "Kang, lucunya seru, ya? Ada apa, Kang?" Lelaki yang baru datang tak kuasa menahan rasa penasarannya. Ia mengguncang-guncang lengan lelaki di sampingnya.

    Dengan susah-payah, akhirnya lelaki itu dapat menghentikan tawanya. Ia menyeka air mata berikut liur di ujung bibir dengan ujung kaos yang dikenakannya.

    "Si Ju lucu juga, Nang," ujarnya kemudian. Lelaki yang disapa Nang itu menoleh pada Ju. Namun beberapa menit terpaku, tak juga ditemukannya kelucuan yang disebutkan.

    "Ah, apanya yang lucu, Kang?" katanya setelah bosan mencari-cari.

    "Lihat, si Ju belajar matematika." Lelaki itu berkata dengan sungguh-sungguh.

    "Lantas?"

    "Katanya biar pintar, bisa jadi orang hebat dan cepat kaya."

    "Lalu, lucunya dimana, Kang?" Lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya.

    "Yaa.. di matematika."

    "Matematika?" Nang semakin bingung.

    "He-eh. Masa dia belajar matematika supaya bisa jadi orang hebat. Padahal, banyak orang hebat yang sdnya dulu bodoh matematika pun sekarang sama pintarnya dengan sang juara kelas. Bukankah tak ada jaminan matematika itu bisa membuat seseorang jadi hebat? Ngerti, lu?" Nang mikir-mikir. Dahinya berkerut, bibirnya terkatup.

    "Ngerti nggak?!" Sergah lelaki itu tak sabaran. Nang menggeleng.

    "Ah, kau!" Lelaki itu menatap ke arah Ju. "Kau, Ju?" Ju ikut menggeleng.

    "Kalian ini! Ya sudahlah, lanjutkan saja belajarmu, Ju. Sebentar lagi hari gelap. Kalau banjir lebih tinggi lagi, mungkin besok kau beruntung tidak sekolah, Ju." Ju tercenung. Tiba-tiba lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Ju.

    "Ju, kalau kelak kau kaya dan jadi orang hebat, jangan lupa sama aku, ya? Bagi-bagiii....." Lelaki itu mengakhiri kalimatnya dengan tawa berderai, lalu melenggang pergi. Langkahnya berdentam-dentam di sepanjang lantai kayu. Sesekali terdengar derit kayu yang mulai menua. Ju menutup telinganya. Bunyi itu melahirkan ngilu di telinganya.

    "Ju, apanya sih yang lucu?" Lelaki bernama Nang menatap Ju dengan serius. Ju angkat bahu sambil melirik buku pe-ernya.

    "Entahlah, Kang. Soal matematika ini saja sudah membuatku hampir linglung, konon pula tawa Kang Rois," ucap Ju ketus. Nang melengos sambil melangkah pergi. Langkahnya terseret-seret.

    Ju terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-kata lelaki yang duluan pergi. Benarkah ia tak perlu belajar matematika? Ju mengamati deretan soal di bukunya. Tapi, biarpun kelak tetap bisa jadi orang hebat, bukankah ia akan kena hukum Bu Guru kalau tak mengerjakan pe-er matematika ini? Kedua tangan memegang telinga dan berdiri jongkok puluhan kali atau disuruh menulis 'aku tak malas lagi mengerjakan pe-er' sampai ratusan baris di buku tulis elok. Hmm..., aku tak mau keduanya! Ju bergegas mengerjakan pe-ernya. Di sel-sel kelabu otaknya, tertanam cita-cita Emak untuknya. Sementara air, perlahan meninggi dan semakin meninggi. Dan hujan tak juga berhenti.

Share This Post: