Lelaki yang Dipeluk Malam

Lelaki itu berbicara dan tertawa dengan dirinya sendiri. Monolog yang hanya ada di benak hitamnya. Rambutnya berjuntai, kotor dan gimbal, separuh menutupi wajahnya yang juga kotor. Kumis dan janggutnya tebal, menyiratkan ketidakpeduliannya pada diri dan kehidupan sekitarnya. Dari tubuhnya yang kering kerontang meruak bau yang tak sedap.

 

           Pakaian compang-camping yang melekat di badan tak lagi mampu menyembunyikan sebagian auratnya. Ketidakwarasan telah membungkusnya dalam dunia hitam, sepekat malam. Siapapun yang melihatnya pasti merasa jijik dan mual. Tak jarang orang-orang yang lewat membuang muka saat bertemu dengannya. Seakan lelaki itu terlalu menjijikkan untuk sekedar dilirik sebelah mata sekalipun.

 

            “Sudah jangan diliatin terus si Taryo itu, hilang nafsu makanmu nanti,”  tegur kang Jaya, seraya menyenggol bahuku kemudian meneruskan makannya yang lahap di sebuah warteg di pinggir jalan yang berseberangan dengan tempat pembuangan sampah, dimana lelaki gila bernama Taryo itu sedang asyik mengorek sampah, mungkin mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya yang lapar.

 

            “Memang orang itu sudah lama gilanya, kang?” aku pun kembali meneruskan makan, meski tak lagi senikmat dan selahap tadi.

 

            “Dia orang asli sini, dulu aku sempat satu kelas dengan dia saat kami masih SD.” Jawaban kang Jaya sedikit tak jelas dengan mulut menggelembung mengunyah makanannya.

 

            “Kenapa dia sampai gila seperti itu kang?”

 

            “Ah, kamu, kenapa sih nanya-nanya dia terus, peduli apa kamu sama dia?” suara kang Jaya mulai berubah. Aku buru-buru meralat omonganku, sifat kang Jaya yang masih saudaraku dari pihak Ibu itu memang keras dan terkadang tak mengenal kompromi.

 

            “Bukan begitu kang, aku hanya penasaran. Kok ada teman semasa SD akang dulu yang berubah menjadi gila seperti itu,” aku mencoba membeli hatinya dengan berucap sehalus dan setenang mungkin.

 

            “Namanya juga nasib Man. Siapa sih yang bisa menebak besok kita akan menjadi apa? termasuk si Taryo itu, rasanya baru kemarin aku dan dia mengobrol dan minum kopi bareng-bareng, saat dia masih waras, tapi sekarang, lihat keadaan dia seperti apa,” Segelas teh hangat yang disuguhkan pemilik warteg ditenggaknya hingga ludes.

 

            “Kalo boleh tau kenapa dia sampai begitu kang?”

 

            “Sudah, sudah! Aku males ngomongin orang tak berguna itu, biarkan saja dia gila, toh di kampung ini tak ada satu pun yang peduli sama dia. Habiskan saja makanmu, bukannya kita harus cepat-cepat ke rumah calon istrimu? Cepatlah sedikit, mungkin mereka sudah lama menunggu kita.” kang Jaya beranjak keluar setelah membayar semua yang telah kami makan.

 

            Aku pun segera menghabiskan sisa makanan dipiringku. Kulirik dengan ekor mataku, si Taryo gila itu masih mengaduk-aduk bak sampah, masih mencari-cari sesuatu yang bisa dimakan. Perutku merasa mual melihatnya.

 

            “Bu, tolong bungkuskan nasi buat dia,” bisikku pada penjaga warteg sambil menyodorkan lembaran uang sepuluh ribu seraya melirik kearah Taryo. Untung kang Jaya tak mengetahui apa yang kuperbuat. Penjaga warung itu menganggukkan kepalanya

 

 

 

***

 

 

 

              Matahari telah berbentuk seperti bola raksasa berwarna merah, tanda senja telah datang, saat aku dan kang Jaya tiba di sebuah rumah sederhana yang telah dimakan usia. Beberapa orang telah menunggu kedatangan kami di pekarangan. Mereka berpakaian rapi dengan sikap seolah telah lama menunggu kedatangan kami. Sebuah pernikahan sederhana akan digelar sore ini, beberapa orang termasuk calon istriku telah menanti di ruang tamu beserta seorang Penghulu yang telah siap menikahkanku dengannya.

 

            “Mohon maaf kedatangan kami sedikit terlambat,” kang Jaya yang bertindak sebagai sebagai waliku, mulai berbasa-basi.

 

            “Tak apa, malah kami yang seharusnya yang meminta maaf dengan keadaan yang serba sederhana ini,” sahut lelaki setengah baya, Pamannya Ani, nama calon istriku yang berperan sebagai wali, menggantikan mendiang bapaknya yang telah berpulang beberapa tahun yang lalu. Ani sendiri yang didampingi Bibinya di sudut ruangan.

 

             Tak lama kemudian, acara ijab kabul pun dimulai. Upacara pernikahan yang sederhana bahkan terlampau sederhana. Aku yang berasal dari kota tetangga meminang seorang janda muda yang tak sengaja kutemui beberapa bulan yang lalu saat berkunjung ke rumah saudaraku, kang Jaya. Akhirnya aku resmi menikahi Ani. Meskipun dia telah berstatus janda namun hal itu tak memupus niatku untuk mempersuntingnya.

 

             Usiaku memang tak berbeda jauh dengannya. Kedekatan kami selama ini telah membuatku yakin untuk segera mengambil keputusan mengarungi bahtera rumah tangga yang telah kuidamkan sejak lama. Sebuah upacara sederhana yang hanya dihadiri segelintir orang dari keluarga dekat saja, tanpa sebuah pesta ataupun perhelatan yang meriah. Cukup janji setia kami berdua saja yang menjadi ikatan penyatuan dua hati.

 

 

 

***

 

             Waktu terasa kian bergulir dengan cepat. Seusai acara sore tadi, kang Jaya yang hendak pamit pulang, menasihatiku agar lebih bijak dalam bersikap, apalagi sekarang aku telah menjadi seorang suami dan seorang imam yang memimpin sebuah rumah tangga.

 

            “Kalau nanti ada yang datang, sikapilah dengan bijak,” bisik kang Jaya sebelum pamit.

 

            “Siapa kang” tanyaku tak mengerti, bukankah tak ada lagi tamu yang kami undang selain orang-orang terdekat yang sore tadi berkumpul menghadiri akad pernikahanku dengan Ani.

 

            “Ada yang belum kamu ketahui tentang masa lalu istrimu itu, Man. Maafkan akang karena baru memberitahu hal itu sekarang. Akang fikir istrimu sendiri yang lebih berhak memberitahukannya padamu, tentang mantan suaminya dulu.

 

            “ Ya, kemungkinan mantan suaminya datang, selalu ada kan? Kuharap kau bisa bersikap bijak terhadapnya, tapi itu juga kalau dia datang kesini, kalau tidak, ya jangan jadi pikiran, santai saja dan nikmati malam pengantinmu. Aku pulang dulu,” kang Jaya pun menghilang di balik pintu setelah bersalaman dengan beberapa orang.

 

            Ah, kukira apa. Ya, memang, kami telah membahas masalah pernikahan sebelumnya antara Ani dengan mantan suaminya. Mereka bercerai beberapa tahun yang lalu karena tak ada lagi kecocokan diantara mereka. Kupikir aku akan mampu menghadapi dengan bijak mantan suaminya bila dia datang untuk menemui kami nanti.

 

            Malam pun kian larut. Usai shalat isya di mesjid yang tak seberapa jauh jaraknya dari rumah istriku yang sekarang tinggal dengan Paman dan Bibinya. Kedua orang tuanya telah berpulang beberapa tahun yang lalu dan kini Paman dan Bibinya yang menjadi orang tuanya. Aku segera menemui Ani yang sudah lama menantiku di kamarnya.

 

            “Sudah shalat isya An?” tanyaku dengan suara berat menekan perasaan gugup yang tiba-tiba hadir dan menggumpal di dadaku.

 

            “Sudah kang,” jawabnya singkat. Mungkin ia pun sama sepertiku, gugup dan sebisa mungkin menekan perasaan tak karuan yang tiba-tiba datang. Aku duduk di sampingnya. Memeluk bahunya, dan dia menyenderkan kepalanya di bahuku. Malam pertamaku yang telah lama kuimpikan sejak dulu kini hadir dan tak hanya dalam angan-angan seperti jutaan malam-malam sepiku dulu. Kuusap kedua pipinya yang halus. Kami saling menatap dengan perasaan penuh cinta.  Wajah kami perlahan saling berdekatan.

 

            Namun tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar rumah. Terdengar teriakan-teriakan yang membuatku urung menjamah tubuh istriku. Aku menyibakkan hordeng jendela dan melihat keluar,  siapa kiranya yang berbuat kegaduhan dengan berteriak dan meracau dengan suara yang tak jelas.

 

Oh, ternyata si Taryo yang siang tadi kutemui saat menyempatkan makan di Warteg pinggir jalan. Lelaki gila itu berteriak-teriak di halaman rumah. Beberapa orang sanak saudara Ani menghalaunya dan mengusirnya.

 

            “Kenapa dia berbuat keributan diluar sana?” aku melirik istriku yang tiba-tiba wajahnya terlihat pucat.

 

            “Kang,…,” istriku menatapku penuh kekhawatiran.

 

 “Nggak apa-apa, kamu jangan kuatir,” aku berusaha menenangkannya.

 

            Ani terdiam, hanya menggigit bibir dan menundukkan mukanya. Tiba-tiba air matanya berlinang.

 

            “Maafkan saya, ada sesuatu yang tak akang ketahui tentang pernikahan saya yang dulu,” lirihnya. Aku mendekati istriku dan duduk disampingnya.

 

            “Apa yang akang tak ketahui, An? Mau kamu menceritakannya pada sekarang?”

 

            “Sebenarnya Taryo yang sudah berubah menjadi gila itu, mantan suamiku kang,” bisik Ani dengan suara serak. Aku terhenyak mendengarnya, lalu teringat perkataan kang Jaya tadi sore sebelum dia beranjak pulang. Kenapa dia tak mengatakan yang sebenarnya, bahkan sejak siang tadi saat kami makan di Warteg pinggir jalan itu. Suara gaduh semakin ramai terdengar diluar. Ternyata beberapa orang tetangga keluar dari rumahnya masing-masing karena ulah lelaki gila itu dan berusaha mengusirnya.

 

            “Maafkan Ani kang, sebelumnya dia sudah tak ada disini selama beberapa tahun, tetapi sekarang malah kembali. Ani tak bermaksud menyembunyikan semua ini pada akang sebelumnya,” airmatanya semakin deras. Aku memeluknya. Dia terisak-isak di pelukanku.

 

            “Sudahlah, akang tak mempermasalahkan hal ini. Sekarang kita adalah suami istri dan dia tak ada sangkut paut lagi dengan kita,” aku masih berusaha menenangkannya.

 

 

 

***

 

 

 

               Suara ribut di luar tak kunjung mereda. Aku beranjak keluar, Paman dan Bibi Ani mengikuti kami dengan ketakutan. Ani memegang erat lenganku, ada guratan kekhawatiran jelas di wajahnya. Aku berusaha tersenyum menenangkannya. Di halaman, lelaki yang sudah kehilangan kewarasannya itu mengamuk dan meracau tak karuan. Beberapa tetangga berusaha menenangkannya bahkan sebagian mengusirnya sambil memukulinya dengan tongkat kayu. Aku pun segera melarangnya dengan halus.

 

            “Taryo, saya Sulaiman. Saya sekarang suami mantan istrimu, kami sudah menikah siang tadi, jadi kuharap kamu bisa tenang dan mengikhlaskan kami berdua untuk berumah tangga,” kataku, meski tak tahu apa fikirannya yang kacau bisa memahami apa yang aku sampaikan.

 

            Matanya yang tajam dan berkilat menatapku.

 

            “Bangsat! Aku tak pernah menceraikan dia, tak pernah! Tak pernaaah! Tak pernaaaaahhhh!” teriaknya. Taryo berusaha menyerangku, namun beberapa orang tetangga menghalau, menangkap dan memeganginya, namun tenaga laki-laki yang sudah tak waras itu terlalu kuat hingga beberapa tetanggaku terpental dihempaskannya. Dengan terhuyung-huyung dia beri mendekatiku. Matanya merah, nafasnya memburu.

 

            “Kau merampas istriku. Bangsat!!!” tanpa aku sadari, sebuah benda yang dia pegang menghujam keperutku dan aku terkesiap, tak sempat mengelak saat benda itu merobek dan melesa ke dalam kulit perutku dengan rasa sakit yang tak tertahankan.

 

            Terdengar suara jerit dan teriakan istriku. Aku memegangi benda hitam itu. Sebuah besi berkarat yang menancap telak di perutku yang berlumuran darah. Aku limbung dan terjatuh ditanah. Kulihat sekilas, Taryo di kerubungi para tetangga yang kini bertambah banyak dan mengeroyoknya. Bertubi-tubi pukulan serta tendangan mereka mendarat di tubuh lelaki gila itu.

 

            Pandanganku kian samar, rasa sakit teramat sangat menyesakkan dadaku, aku terkapar dalam pelukan istriku yang meraung menangisiku. Darahku mengalir deras. Malam pun kian hitam. Sehitam dendam yang merasuk Taryo gila. Aku pun roboh bersamaan dengan robohnya Taryo.

 

 

 

Darah tumpah ke tanah, darahku dan juga darahnya.*** 

Share This Post: