Dzikir Embun dan Daun

Seraya memanjatkan dzikir malam, aku menatap kedua lelaki yang tengah berbincang khusyu di teras mushola.

 

“Ssttt, diam...!” bisik lelaki berambut gondrong dan bermata bening dengan ketercekatan tertentu. Satu jari telunjuk menempel di bibirnya yang kering.

 

                “Coba kau dengar lantunan dzikir-dzikir itu!”

 

                “Dengarkan dengan segenap jiwamu, betapa indah bukan?” kepalanya menengadah, kedua kelopak matanya terpejam seakan dibuai sebuah simfoni yang mengalun indah.

 

Namun sayangnya hanya dia sendiri yang bisa menikmati, karena meskipun berusaha menajamkan pendengaran sepeka apapun, kulihat sahabatnya tak jua mampu mendengar suara yang didengar si gondrong bermata bening itu, selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya disekitar mushola.

 

                Alan, nama yang sudah akrab ku kenal milik si gondrong bermata bening itu, masih terlihat asyik masyuk menikmati sesuatu yang absurd. Matanya merem-melek layaknya orang yang sedang mengilik-kilik telinga dengan sehelai bulu, sarat kenikmatan. Sedangkan sahabatnya yang duduk bersila disampingnya hanya bengong, kesal dan lama-lama bosan juga dibuatnya. Suara yang Alan bilang merdu mengalun, sampai tengkuk dan telinganya mengeras pun urung bisa ia dengar.

 

                “Aku pulang saja!” sungut sahabatnya kesal seraya beranjak berdiri.

 

                “Dari tadi aku tak mendengar apapun, percuma saja,” tambahnya dengan ketus, seraya beranjak dari teras mushola dengan nyamuk-nyamuknya yang sedari tadi berpesta menggasak dan menyedot darah mereka berdua. Namun dengan sigap tangan Alan mencekal bahunya.

 

                Matanya masih setengah terpejam seperti orang yang menderita penyakit ayan.

 

                ”Kamu dengarnya dengan jiwamu dong, ruhanimu! Cobalah dengar dzikir-dzikir daun-daun dan embun yang nikmat ini. Ayo cobalah, kumohon...”

 

                Sahabat pun mengurungkan niat untuk pulang. Dengan terpaksa kembali duduk bersila di samping Alan. Sahabatnya yang beberapa bulan ini sering dikatakan ’gila’ oleh seluruh warga kampung. Bagaimana tidak orang-orang sampai memvonisnya demikian, karena di manapun dan kapanpun dia mengoceh tentang suara-suara dzikir kami yang katanya sangat merdu melebihi nyanyian bidadari dan malaikat di surga, lagaknya seperti pernah ke surga saja.

 

                Wajar saja dia dianggap sinting, mana ada orang yang percaya jika mendengar kabar dari seorang pemuda kuli panggul di pasar baru yang mengaku mampu mendengar lantunan dzikir kami. Malah sebagian berkelakar, sebentar lagi Alan akan memproklamirkan diri sebagai Nabi, seperti banyak kasus sekarang ini, bahkan tak mustahil nanti mengaku mendapat wahyu dari Iblis yang menyaru sebagai Jibril palsu karena kerapnya menyendiri dalam melakukan rutinitas khalwat, di teras mushola.

 

 

 

***

 

                  Alan memang anak yang tak pernah macam-macam. Sedari kecil dia rajin sekali mengaji di madrasah, sedangkan sahabatnya, yang tengah kesal menemaninya malam ini malah lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Video Games atau asyik membaca komik-komik persilatan yang ia sewa dari Taman Bacaan.

 

Disaat Alan menghabiskan waktu dari sore hingga malam bersama Ustadz Haris mempelajari Tajwid, Nahwu dan Sharaf serta ilmu keagamaan lainnya, sahabatnya malah enak-enakan ngaliwet bersama teman-teman di pos kamling sambil sesekali menggoda satu dua gadis yang kebetulan lewat.

 

                Tak aneh bila setelah dewasa dan tamat dari pondok pesantren, Alan tumbuh menjadi pemuda yang baik dan shaleh. Dia bahkan tak malu bekerja sebagai kuli panggul di Pasar demi meringankan beban hidup keluarganya. Sedangkan sahabatnya, selulus SMA hanya menganggur saja sambil sesekali membantu pekerjaan Bapaknya sebagai bandar tembakau, mengirim barang ke kota.

 

                Ibu dan Bapaknya yang sudah tua pun turut merasa terbebani mendengar isu yang beredar tentang anaknya dan rutinitas malamnya. Sahabatnya itu pun merasa terusik melihatnya semakin di musuhi warga, maka demi rasa solidaritas, malam ini ia turut menemani untuk membuktikan segala perkataannya tentang suara-suara dzikir embun serta daun-daun itu. Meski baginya itu tak masuk akal sama sekali, bahkan diam-diam sebenarnya ia pun sependapat dengan warga kampung bahwa Alan mungkin telah terganggu jiwanya akibat terlalu banyak menyendiri.

 

                Berminggu-minggu kemudian, kabar tentang Alan dan keanehannya semakin santer terdengar. Bahkan ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai kuli di pasar, karena diduga telah sesat. Dan terakhir kudengar, dia meraung-raung histeris di tempat penjagalan hewan karena mengaku mendengar dengan jelas rintihan dan dzikir puluhan kambing dan sapi yang disembelih oleh tukang jagal. Jelas sudah, dia telah di cap sebagai orang yang hilang kewarasannya.

 

                Kini, ia semakin banyak menghabiskan waktunya di mushola yang kian sepi penghuni. Shalat lima waktu pun kini jarang dihadiri warga, alasannya karena bosan dengan kegilaan Alan yang tak henti mengajak mereka memakmurkan mushola. Tetapi menurutku itu hanyalah alasan yang dibuat-buat untuk menutupi kemalasan mereka saja.

 

Menyadari hal itu kurasa Alan merasa terpukul, badannya yang dulu tegap berisi kini kurus kering. Bahkan terdengar bahwa tak lama lagi dia akan diusir dari kampung atas intruksi Pak Lurah, alasannya demi menjaga stabilitas kampung.      

 

                Aku sendiri semakin iba dengan nasib si gondrong bermata bening itu, tapi tak mampu berbuat apa-apa selain mendo’akannya dengan segenap dzikir kami sepanjang hari.

 

                ”Hati mereka sudah mengeras akibat menjauh dari ajaran dan amalan agama. Wajar saja kalau aku berusaha mengajak mereka kembali ke fitrahnya sebagai muslim, sebagai hamba!” serunya kepada sahabatnya suatu hari, ah dari dulu dia memang keras kepala.

 

 

 

***

 

                 Hingga terjadilah peristiwa yang mengejutkan seluruh warga. Peristiwa yang membuat mereka merubah penilaiannya selama ini terhadap pemuda kurus kering itu. Selama beberapa malam seluruh warga bermimpi tentang badai dan topan yang mengamuk dan mengobrak-abrik seluruh kampung hingga luluh lantak. Seluruh rumah, kebun dan binatang ternak hancur, kecuali mushola yang tetap tegak berdiri dan bahkan bersinar dengan Alan di dalamnya, asyik bermunajat dengan Sang Maha Pencipta.

 

                Mimpi aneh itu bukan saja dialami oleh para orang dewasa namun juga anak-anak, baik laki-laki dan perempuan. Tak terkecuali Pak Lurah dan keluarganya pun turut dihantui mimpi itu hingga beberapa malam lamanya seluruh warga kampung merasa resah dan takut untuk tidur.

 

                ”Ini pasti sihir anak bangsat itu!” geram salah seorang warga saat berkumpul di teras rumah Pak Lurah suatu malam.

 

                ”Tidak, ini pasti azab atas ulah kita selama ini terhadap dia. Bagaimana pun kita harus mengakui kalau anak itu benar dan tak pernah melakukan hal-hal yang merugikan kita semua.”

 

                ”Ya, saya pun sependapat. Si Alan memang tak patut kita perlakukan seperti yang sekarang ini kita lakukan pada dia dan keluarganya. Dia telah mengajak kita pada kebaikan dengan memakmurkan mushola dan melakukan amalan-amalan baik, tapi kita tak mau mendengar, malah berbalik memusuhinya.” tambah yang lain.

 

                Pak Lurah terlihat manggut-manggut sembari mengurut keningnya.

 

                ”Lantas, apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang? Keluarga saya sudah tiga hari tiga malam tak bisa nyenyak tidur karena selalu didatangi mimpi itu,” keluh beliau, seluruh yang hadir saling menatap satu sama lain. Mata mereka sembab, wajah-wajahnya pun pucat, mungkin karena kurang tidur.

 

 

 

***

 

                 Dia terlihat khusyu bersila di atas sejadah tua. Seutas tasbih masih menggantung di jemarinya. Malam senyap, tak terdengar suara jangkrik ataupun binatang malam lainnya. Angin pun tak berhembus. Aku mengantar seluruh warga kampung, beriringan menuju mushola. Perlahan kubuka pintu, seluruh warga menunggu di teras.

 

                ”Assalamu’alaikum. Alan, ada yang mau bertemu dengan kamu,” sahabatnya mendekati dan berbisik di telinganya. Ia sentuh bahu yang kurus tinggal kulit membungkus daging itu. Namun Alan tetap bergeming, wajahnya menunduk dalam, ketiduran mungkin.

 

                ”Alan, bangun dulu sebentar, kami mau bicara,” Pak Lurah menepuk bahu Alan. Namun alangkah terkejutnya kami karena perlahan tubuh itu menggelesot jatuh di atas sejadah. Seluruh warga yang hadir terkejut, tubuh kurus itu sudah tak bergerak.

 

                Sahabatnya segera memburunya, pun beberapa warga yang kaget. Detak jantungnya tak lagi terdengar. Kulihat bibir kering dan kecoklatan itu tersenyum samar, kelopak matanya sembab dengan butiran airmata menggenang, terlihat tenang dan penuh kedamaian. Seakan tengah menikmati kepuasan yang tak bisa diungkapkan oleh kata dan kalimat. Tubuh sahabatnya bergetar menahan tangis yang tiba-tiba membuncah. Sahabatku telah tiada. Seluruh warga yang hadir terkesiap.

 

                Tiba-tiba semilir tercium wangi semerbak di seluruh ruangan. Lalu suara angin menghantarkan lantunan dzikir kami dengan syahdu, menghantarkan jiwa yang tenang bersayap keteguhan iman ke haribaan Rabb-nya.

 

                ”Subhannallaaaaaaaaaah,...Subhannallaaaaaaaaah...” namun mereka tak pernah mampu mendengar dzikir kami. Tak pernah. ***

Share This Post: