Mengembalikan Budaya Santun Di Tengah Generasi Muda

Dua puluh tahun ke belakang, saya masih dengan jelas mengingat, betapa kesantunan dan budi pekerti menjadi semacam tolok ukur bagi masyarakat kita untuk menilai kepribadian seseorang. Kesantunan dan budi pekerti juga menjadi tugas wajib bagi para orangtua dalam menjalankan perannya sebagai pendidik dalam keluarga. Anak-anak diperkenalkan sejak dini pada berbagai tata krama dan etika pergaulan. Sejak kecil, pendidikan ini telah dimulai dengan membiasakan anak bersalaman pada kerabat yang lebih tua, berbicara dengan kalimat yang sopan  dan sebagainya. Sehingga jarang sekali kita mendapati anak-anak yang berlaku seenaknya baik dalam keluarga maupun di masyarakat.

            Namun semakin ke depan, dengan infiltrasi budaya asing yang semakin menggila, serta pelbagai kemudahan dalam teknologi yang memungkinkan setiap orang dapat berkomunikasi lewat dunia maya, anak-anak muda semakin kehilangan selera dalam menerapkan budaya santun yang konon dianggap 'nggak jaman', jadul dan 'budaya ribet'. Dalam dunia maya dimana mereka terdaftar sebagai masyarakat pada beragam media sosial seperti facebook, twitter dan sebangsanya, tentu kesantunan dan tata krama cenderung diabaikan begitu saja. Mereka dapat dengan mudah memaki, menjustifikasi serta menyerang kelompok-kelompok ataupun seseorang lainnya, juga melakukan hasutan-hasutan yang berhubungan dengan berbagai  pihak yang tak disukai. Kalimat demi kalimat yang tersiar melalui keyboard qwerty, tak memerlukan aturan-aturan  kebahasaan yang di dunia nyata diterapkan berbeda pada berbagai tingkatan. Semua serba mudah, seperti membalikkan telapak tangan.

            Mereka juga dapat mengakses berbagai hal yang ingin mereka ketahui tanpa batasan. Sehingga pengetahuan mereka meluas dengan cepat, termasuk akses pada tindak kekerasan, pornografi dan sebagainya. Mereka juga kerap terperangkap pada konflik-konflik pertemanan yang silang-sengkarut, yang dapat mempengaruhi secara kejiwaan, pola pikir dan gaya hidup.

            Dengan segala kemudahan yang mereka dapatkan saat berinteraksi di dunia maya tersebut, tentulah menjadi sangat mustahil bagi anak-anak dan remaka itu untuk mengubah pribadinya menjadi berbalik 180 derajat lebih baik saat berada di dunia nyata. Pada masa pencarian identitas yang baru mereka retas di awal usia remaja, keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan juga kemapanan sebagai pribadi, menjadi kekuatan untuk memamerkan pada masyarakat tentang 'inilah aku'. Sayangnya 'inilah aku' yang mereka kampanyekan itu adalah 'inilah aku' yang miskin pemahaman. Baik pemahaman terhadap dirinya sendiri maupun pemahaman terhadap budaya dan lingkungan sekitar.

            Selain pesatnya perkembangan teknologi informasi, hilangnya materi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dalam kurikulum pengajaran di sekolah-sekolah, dianggap menjadi salah satu faktor terjadinya dekadensi moral yang menerjanglapisan generasi muda saat ini. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) yang menggantikan keberadaan PMP, dianggap tak maksimal dalam membentuk moral anak-anak bangsa. Karena penitikberatan materi pelajaran yang berhubungan pada hal-hal yang berkaitan pada hak, kewajiban, pemahaman dan kesadaran sebagai warga negara, tak memiliki bobot yang memadai pada pembelajaran dan penanaman nilai-nilai moral yang ada pada materi PMP itu sendiri.

            Beban selanjutnya diarahkan pada pendidikan di dalam keluarga yang juga dituding tak dijalankan dengan sempurna oleh orangtua. Hal ini terjadi akibat kesibukan kedua orangtua dalam mencari materi untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Anak-anak ditinggal dengan asisten rumah tangga, seperti pembantu, baby sitter atau orang-orang yang dipercaya untuk menangani kebutuhan fisik mereka saja. Dalam hal ini juga penitipan-penitipan anak yang cukup menjamur. Orangtua dimudahkan untuk menangani anak-anak mereka sepanjang ketakberadaan keduanya di rumah. Akan tetapi yang justru dilupakan adalah pembentukan karakter mereka. Para asisten rumah tangga tentu tak memiliki kapasitas yang diinginkan untuk melakukan alih fungsi sebagai seorang ibu. Bahkan baby sitter juga cenderung melakukan tugas mereka laksana robot. Tak ramah dan kurang  human. Karena profesi yang lekat pada mereka adalah profesi yang terjadi karena kebutuhan lapangan pekerjaan, bukan atas nama kecintaan. Penitipan anak? Lembaga ini juga tak dapat diharapkan karena keberadaannya sebagai pengasuh massal bagi puluhan anak-anak asuhnya. Sehingga pendekatan per individu yang optimal dan penuh kasih sayang menjadi sangat mustahil untuk didapatkan dengan cuma-cuma.

            Taklah mengherankan bila demikian, anak-anak tak lagi membungkukkan tubuhnya dan menjulurkan sebelah tangan ketika melintas di hadapan orang-orang tua/dewasa. Anak-anak berani membantah perintah orangtuanya dan bahkan menolak dengan kasar. Anak-anak lebih suka berlama-lama dalam komunitas mayanya ketimbang berkumpul bersama anggota keluarga lain dalam beragam kegiatan nyata. Sehingga nilai kebersamaan jadi semakin menurun dan kedekatan batiniah juga mulai mengendur.

            Anak-anak lebih memercayai apa kata teman dan 'trending topic' di media sosial ketimbang petuah-petuah guru dan orangtua. Mereka menganggap sudah tahu dan paling tahu segalanya. Bukankah teknologi informasi dengan mottonya 'dunia dalam genggaman' telah menjadikan anak-anak itu sebagai generasi yang abai dengan akar dan muasal dirinya?

            Lantas, dengan semua kompleksitas permasalahan yang sangat memprihatinkan itu, apakah kita menjadi skeptis bahkan pesimis? Tentu saja tidak! Tak dapat dipungkiri, teknologi membawa berbagai dampak dalam kehidupan manusia. Dampak itu sebahagian bermakna positif, sementara sebahagian lainnya juga bermuatan negatif. Positif dan negatif itu masing-masing dapat diminimalisir, tentu tergantung pada pengguna teknologi itu sendiri.

            Di tangan anak-anak dan remaja yang masih belum bijak dalam mengambil keputusan dan arah yang benar untuk masa depannya, teknologi khususnya internet dapat menjadi pedang bermata dua. Bisa menjadi senjata untuk menaklukkan dunia, namun bisa juga menjadi pembunuh diri sendiri. Untuk memaksimalkan tujuan positifnya, tentu saja penggunaan teknologi secara bijak tak dapat dilepas-kendalikan begitu saja pada mereka. Pendampingan dan bimbingan orangtua, pengarahan dari pendidik dan orang-orang dewasa di sekitar mereka juga sangat berperan besar. Bahkan sangat menentukan.

            Bagaimanapun, anak-anak dan remaja membutuhkan lingkungan yang interaktif dan penuh kasih sayang dalam mengawal pertumbuhan mereka menjadi manusia dewasa. Mereka butuh pembinaan yang terus-menerus pada kesadaran untuk melakukan interaksi sosial dengan lingkungan nyata. Mereka butuh patner bicara yang memadai untuk pemenuhan rasa keingintahuan yang besar. Dengan demikian, porsi untuk lingkungan dan teknologi itu sendiri menjadi berimbang dan saling mengawal serta mengisi.

            Anak dan remaja yang tumbuh di era teknologi tentu memerlukan pola pengasuhan yang berbeda jauh dengan zaman dahulu, dimana pola pengasuhan hanya berjalan satu arah. Anak-anak dan remaja sekarang cenderung lebih agresif, mandiri dan sangat percaya diri. Mereka tak mudah diperintah, meskipun oleh orangtuanya sendiri. Pendekatan yang dilakukan harus dilakukan dengan  metode tarik ulur. Tak terlalu menekan, juga tak terlalu longgar. Disiplin tetap memegang kunci utama, akan tetapi dikondisikan dengan ramah dan bersahabat, jauh dari arogansi kekuasaan yang umumnya diterapkan orangtua. Paradigma tempo dulu yang menekankan orangtua adalah pemegang kuasa penuh terhadap anak-anak mereka harus disingkirkan. Karena tindak kekerasan terhadap anak atas argumen apapun, tidaklah dibenarkan dan melanggar Konvensi Hak Anak, yang terhadap para pelanggarnya dapat dikenakan sanksi pidana.

            Tak mudah memang menjadi orangtua di era teknologi sekarang. Sangat sulit untuk mengikuti jejak anak di dunia maya, meskipun kita sebagai orangtua memiliki akun hampir di semua sosial media. Mereka fleksibel dan sangat cepat, sementara kita para orangtua hanya memiliki sedikit waktu yang tersisa untuk mengendus mereka di dunia tanpa batas itu, karena harus  mempertaruhkan karir dan tanggung jawab sebagai pengendali ekonomi keluarga. Membatasi penggunaan teknologi pada mereka juga tak mungkin dilakukan. Karena itu akan menyulut konflik antara anak dan orangtua.

            Usaha yang harus dan mungkin dilakukan adalah membangun seoptimal mungkin komunikasi yang baik dengan anak, tetap menanamkan nilai-nila- moral, agama dan tata krama pada setiap sendi persentuhan mereka di tengah masyarakat nyata. Kebutuhan ini dianggap mendesak untuk direalisasikan sesegera mungkin, mengingat nilai-nilai yang  tertera pada grafik kenakalan anak, tak memiliki trend menurun, melainkan setiap tahun semakin meningkat. Setidaknya, langkah awal ini dapat mengembalikan anak pada budaya santun yang telah lama menjadi salah satu ciri dan kekuatan bangsa kita.

Share This Post: