RUMAH KAYU DI DEKAT HUTAN

Dentang jam berbunyi tepat pada pukul 00.00 dini hari, aku terbangun dari mimpi burukku. Keringat dingin mengguyur dan membasahi seluruh tubuh, nafasku tersengal tak beraturan sedang jantungku berdetak kencang bak berlari dikejar harimau. Aku merasa ini seperti sebuah kenyataan tapi kenyataannya ini hanyalah sebuah mimpi. Malam ini aku tidak bisa tidur lagi setelah mimpi itu datang. Aku beranjak dari tempat tidurku dengan langkah sempoyongan menuju kamar mandi untuk membasuh muka juga untuk sekedar mengelap tubuhku yang dikepung oleh keringat dingin.

Air yang terasa dingin membuatku ingin kembali pada tempat pembaringan, kembali ku rebahkan tubuhku dan mulai memejamkan mata. Udara yang dingin sekarang sudah tak terlalu terasa lagi. Perlahan matahari naik keatas, panas matahari yang menyengat masuk dari jendela kaca kamar dan menembus kulit sehingga membuat mataku silau.

Diluar sana terdengar kicauan burung nuri yang beterbangan menari riang gembira. Beruntungnya aku tinggal di dekat sebuah hutan sehingga aku tidak mendengar bisingnya suara kendaraan, maupun bau asap kendaaraan, dan asap pabrik seperti diperkotaan.

Rumah ini adalah rumah tua peninggalan dari ayah ibuku ketika mereka masih hidup, sedang sekarang aku tinggal sendirian sehingga membuatku memutuskan untuk pindah kedekat hutan ini. Lagipula aku sangat merasa nyaman hidup di dekat hutan, sekali seminggu aku pergi kekota untuk belanja keperluan dapur. Aku tidak merasa bosan, jenuh ataupun kesepian disini sebab aku tinggal bersama binatang peliharaanku Cimot dan Cimut, Cimot adalah seekor anjing sedangkan Cimut adalah seekor kucing. Mereka adalah dua jenis hewan yang berbeda, akan tetapi mereka bisa hidup berdampingan satu sama lain. Rumah peninggalan ayah ibuku sangatlah nyaman dan juga sederhana, rumah kayu disertai jendela kaca dilengkapi dengan perapian api unggun didalamnya.

Benar-benar tempat tinggal yang luar biasa bagiku, inilah salah satu alasan mengapa aku betah tinggal disini. Ketika matahari turun menjelma menjadi sebuah bulan  purnama maka disitu jugalah aku merasakan takut. Mengapa? Sebab, setiap bulan purnama datang aku selalu mendengar bunyi lolongan serigala yang spontan membuat bulu kuduk jadi merinding. Ditambah lagi jika udara diluar hujan disertai angin kencang melanda, oohh… tak dapat aku menahan rasa was-was takut jika ada kayu yang jatuh menimpa atap rumah. Terkadang dedaunan melambai-lambai membuat sensasi rasa takutku meningkat jadi luar biasa.

Jika musim penghujan aku selalu merasa ingin buang air, mungkin karena cuaca dingin yang masuk menerobos lapisan kulitku yang tipis. Sebelum musim hujan datang aku selalu memenuhi persediaan kayu bakar serta persediaan makanan dan baju tebal untuk penghangat tubuh.

Biasanya aku akan membeli makanan instan dari pada harus memasak, karena makanan instan cepat saji dan mudah dikonsumsi untuk jangka waktu yang lama. Rasanya sangat malas beranjak dari atas tempat tidur saat hujan sudah datang mengguyur seharian, udara yang dingin membuat tubuh ingin selalu hangat dan tertutup selimut tebal.

Besok merupakan waktu yang aku kawatirkan tersebut, beruntungnya aku telah memiliki segala macam keperluan sehingga aku bisa merasa aman untuk sementara waktu. Matahari mulai membenamkan dirinya ke ujung barat, senja mulai menyapa dan terang benderang perlahan berganti menjadi gelap gulita. Aku duduk di tepi jendela dengan sebuah kursi kayu sambil memandang kearah luar jendela. Aku sedikitpun sudah tidak bisa melihat bukit ataupun gunung sebab langit terlihat begitu gelap gulita seperti akan terjadi hujan malam ini. Udara yang dingin membuatku merasa mengantuk ingin tidur, aku tidur sambil memeluk Cimut kucing kesayanganku, sedangkan Cimot anjingku yang penurut tidur didekat tungku perapian. Aku tidur begitu lelap hingga aku terbangun ketika mendengar suara angin yang sangat kencang dan suara gemuruh diluar sana. Dengan tidak sadar ternyata selimutku telah jatuh kesamping tempat tidur, aku duduk dan meraihnya kembali. Saat aku sedang memegangi selimut terdengar pintu rumahku seperti ada yang mengetuk. Aku tak menghiraukan ketukan tersebut dan kembali berbaring menyelimuti tubuhku dari dinginnya udara malam, baru sekitar lima menit aku tidur bunyi itu datang lagi dan terus berulang sebanyak tiga kali. Sebenarnya aku sedikit merasa takut, tapi aku lebih takut lagi jika harus melangkah kearah pintu. Aku tidak mau bangkit, aku terus berbaring dengan mata yang menengok kerah kini kanan atas dan bawah disebabkan rasa was-was yang telah menghampiri. Jantungku seketika berdegup kencang ketika aku melihat sebuah bayangan melintas dari arah kaca luar jendela. Aku tidak tahu persis apa itu, tapi sekilas aku menerima gambaran seperti sesosok bayangan dengan tubuh kecil. Aku merasa takut tidak karuan, selimut tebal aku tutupi keseluruh tubuh dari kepala hingga kakiku yang mulai bergetar menahan rasa dingin bercampur takut. Aku tidak berani membuka selimut ini, aku menutup kepalaku menggunakan bantal agar aku tidak bisa mendengar apapun diluar sana, ku pejamkan mataku hingga malam itu berlalu. Paginya hujan masih belum reda, perut yang kosong aku isi dengan sekaleng makanan instan berisi jagung dengan susu. Setelah merasa lumayan kenyang aku duduk di dekat perapian selama seharian hingga senja datang menjemput siang. Malam harinya sekitar pukul 21.00 aku tertidur pulas dikursi sofa hingga pada pukul 23.15 aku terbangun karena udara yang dingin menembus ubun-ubunku. Aku segera berpindah tempat dan menghempaskan badan keatas kasur empukku. Dua jam setelah itu aku terbangun lagi karena merasa lapar. Aku mengambil roti yang terletak diatas meja dekat kasur, sengaja aku letakkan disitu agar memudahkanku untuk menyantap makanan saat terdesak lapar tengah malam. Saat tengah mengunyah aku mendengar bunyi ketukan pintu seperti yang aku dengar malam kemarin, tapi kali ini sedikit berbeda sebab bunyi ketukan itu disertai dengan panggilan yang terdengar sayup-sayup sampai “siapa itu…” teriakku, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Seperti tidak ada suara, kembali aku melanjutkan makan malamku dengan tergesa-gesa bak sedang mengikuti perlombaan makan. Bunyi itu kembali lagi dan berulang sebanyak empat kali, aku menoleh kearah kiri kanan dan atas melihat dinding dan langit-langit rumah, kemudian aku menengok ke arah bawah tempat tidur takut jika tiba-tiba ada yang datang menyentuh ataupun menarik kakiku seperti kebanyakan yang terjadi pada film horror. Aku melihat ke jendela tapi yang terlihat hanyalah hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar diluar sana. Saat mata ini aku kedipkan aku melihat sesosok bayangan seperti seorang anak kecil yang sedang berlari-larian di tengah derasnya hujan. Perlahan aku berjalan mendekati jendela dan mengintip melihat siapa gerangan  yang berani bermain hujan di dalam gelap gulitanya malam. Ketika aku hendak melihat, anak tersebut sudah tidak ada lagi disana “kemana perginya anak kecil tadi, apa yang sedang ia lakukan sendirian dihutan ini?” ucapku bertanya sendiri pada hati kecil. Bak disambar petir disiang bolong ternyata anak kecil yang hendak aku lihat tadi telah berdiri menatap kearahku dengan taring panjang nan runcing, mata merah menyala bagaikan api, mukanya seperti wajah binatang, lubang hidung yang serata dengan wajah menganga seperti lubang hidung babi, terdengar bunyi mengerang dari dalam mulutnya, itu tidak terlihat seperti anak kecil yang aku lihat tadi.

 

“Astagfirullah al ‘aziim…. Allahu akbar… Laa ilaha illallah… Setaaaaaaaan…” teriakku sekencang-kencangnya. aku ingin berjalan keatas kasur, tapi langkahku tidak bisa terayun. Rasanya kakiku tidak dapat digerakkan lagi, seperti ada magnet yang menahan kakiku untuk tetap berdiri disana. Mahluk itu perlahan kembali ketengah hujan dan berlari-larian kembali sambil tertawa pekikikan seperti bunyi suara dengkingan keledai, tangannya seperti tangan manusia dengan kuku yang panjang bagaikan akar kayu, kulihat kedua kakinya adalah kaki kuda berwarna hitam. Dia berlarian mengelilingi sebatang pohon didepan rumah kemudian berlari sekencang-kencangnya kearahku ingin menyeruduk kaca jendela dengan tanduknya yang menyerupai tanduk kijang. Aku menjerit ketakutan berteriak dengan sangat kencang lalu pingsan tak sadarkan diri hingga pada pagi harinya aku mendengar suara kicauan burung, aliran air dan gesekan batang bambu yang bersimphony indah, tersadar ternyata aku telah terbaring dibawah pohon. Aku melihat pemuda dengan sebuah tas berisi anak panah yang tersandang dibahunya, dilihat dari atribut dan pakaiannya sepertinya ia merupakan seorang pemburu. Tampak ia tengah duduk memanggang ikan mas merah berukuran besar “siapa kamu… apa yang kamu lakukan dihutan ini dan mengapa aku berada disini bersamamu?” jeritku dengan penuh tanda tanya.

 

Dia tersenyum dan mendekatiku dengan menawarkan ikan mas yang kelihatannya cukup lezat tersebut “lebih baik kamu makan dulu, nanti aku jelaskan padamu setelah kamu makan”.

 

Aku mencuci muka pada aliran air yang bersih jernih, terasa sangat sejuk dipipi. Aku merasa segar setelahnya akan tetapi perut ini mulai menggerutu meminta makan. Aku mengambil ikan yang ia tawarkan tadi dan menyantap ikan tersebut. Rasanya yang manis dan lezat menghilangkan rasa laparku, aku pun tersandar dan duduk istirahat sambil mendengar cerita pemuda itu. setelah ia bercerita aku pun balik menceritakan apa yang telah aku alami malam tadi. Tampak ia tertawa seperti tidak percaya pada apa yang telah aku alami. Aku pun berusaha meyakinkannya dan akhirnya pemuda itu pun mempercayaiku. Ia memberi saran agar aku segera meninggalkan rumah kayu yang aku huni sekarang, tanpa pikir panjang aku mengiyakan sarannya dan berterima kasih padanya karena telah menolongku. Ternyata mahluk yang aku lihat tadi malam lah yang sudah memindahkan aku tidur ke tengah hutan yang cukup jauh dari rumah mendiang ayah ibuku.

 

Share This Post: