PENDIDIKAN BERKARAKTER UNTUK KARAKTER BERPENDIDIKAN

Karakter. Masih ingat dengan kata yang satu ini?

 

Yup, satu kata ajaib yang sempat membuat semua orang sibuk dengan berbagai gayanya, atas nama program pendidikan karakter. Tidak hanya pihak penyelenggara pendidikan formal, tapi juga mahasiswa dan pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan. Dan, yang paling merasa bertanggungjawab adalah orang tua. Berbagai macam seminar dan pelatihan pun terlaksana. Bahkan, terkadang perdebatan mewarnai perbincangan-perbincangan tentangnya.

 

Namun, yang memprihatinkan adalah sikap para perumus dan pelaksananya, yang masih kebingungan dalam mensukseskan program pendidikan karakter ini. Usut punya usut, ternyata hal ini dikarenakan ketidak jelasan definisi dan konsep karakter itu sendiri. Bahkan seorang professor di sebuah universitas pendidikan ternama di Indonesia yang merupakan salah satu pengurus pusatnya, dalam sebuah seminar nasional yang saya ikuti menyatakan bahwa di pusat belum selesai perumusan pengertian karakter. Sementara itu, di sekolah sudah harus dilaksanakan. Nah, lho.

 

Padahal, kalau kita kaji lebih dalam, program ini sangat penting di dunia pendidikan. Bagaimana tidak, pada dasarnya karakter itulah inti dari tujuan pendidikan nasional. Bagaimana mungkin tujuan pendidikan akan tercapai jika konsep tujuan itu sendiri dilaksanakan dalam ketidak jelasan? Oleh karena itu, saya berharap tulisan singkat ini mampu mengaktifkan kembali pemikiran kita bersama akan pentingnya pendidikan karakter, walaupun secara formal proyek besar ini sudah tak disebut-sebut lagi. Mudah-mudahan, dengan menerapkan pendidikan berkarakter dalam kehidupan kita masing-masing, bangsa ini akan menjadi lebih baik karena dibangun oleh manusia-manusia yang memiliki karakter berpendidikan.

 

Hal yang paling penting untuk bisa memahami sebuah konsep adalah memahami definisi-definisi. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Tak cinta, bagaimana memahami? Apa lagi berkontribusi? Yuk, mari kita preteli.

 

Karakter. Kalau kita lihat dari berbagai pengertiannya, karakter itu hanyalah istilah gaul dari kata akhlak. Pada zaman dahulu…, (nyonteklughahakiknyaAraJ) di sekolah dasar, ataupun sekolah menengah, kita sudah mempelajari bahwa akhlak itu adalah sifat manusia (di antara sekian banyak sifat yang dimilikinya) yang sudah tertanam kuat dalam dirinya. Artinya, dalam kondisi bagaimanapun, sifat tersebut akan tetap muncul secara spontan walaupun orang yang bersangkutan mencoba menutupinya, karena ia bekerja dialam bawah sadar manusia. Misalnya, seseorang yang memiliki karakter atau akhlak pencela (pancacek bahaso awaknyo), akan tetap terlihat di raut wajahnya walaupun dia berusaha untuk memperlihatkan wajah semanis mungkin. Sebaliknya, seseorang yang berkarakter menghargai akan berusaha mencari kata-kata terbaik sehingga dapat memotivasi kelemahan orang lain.

 

Pada dasarnya, manusia memiliki berbagai macam sifat baik dan sifat buruk. Sifat baik mengarahkan pada ketakwaan yang tentunya akan membuahkan kebahagiaan, sedangkan sifat buruk mengarahkan pada kefasikan yang juga tentu menimbulkan kesengsaraan. Hal ini berdasarkan Al Qur’an surat Asy-Syams ayat 8 yang artinya :

"Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia telah mengilhamkan kepada jiwa setiap manusia dua jalan, yaitu kefasikan dan ketakwaan. “sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

 

Hal ini berarti bahwa masing-masing kita memiliki sifat baik dan buruk. Artinya, sebaik-baik manusia pasti juga memiliki sifat jahat. Hanya saja dia lebih memupuk sifat baiknya sehingga menjadi karakter yang akan membawanya pada kebahagiaan. Begitu juga sebaliknya, dalam diri orang yang kita anggap paling jahat sekalipun terdapat sifat-sifat baik. Namun tertutupi oleh karakter yang diapilih. Dan hal itu sudah pasti hanya akan membawanya kepada kesengsaraan hidup di dunia maupun di akhirat. Sebagai mana yang terdapat dalam ayat berikutnya :

 

Dalam ayat-ayat lainnya Allah SWT menjelaskan beberapa sifat yang merupakan bagian dari masing-masing jalan tersebut. Di antara sifat yang mengarahkan manusia pada jalan kefasikan adalah tergesa-gesa alias tidak sabaran, berkeluh kesah dengan bermacam bentuknya, kufur dan pelit (hayo, siapa dia?), pendebat dan pembantah beserta keluarganya, jahil sodaranya usil (is, is, is…), zhalim (tegaan bahkan ga nyadar lagi sudah menjadi sebuah kekejaman), dan tidak mau berbuat baik. Sedangkan sifat ketakwaan di antaranya adalah bersabar (sabar itu ga hanya pas dapat musibah lho, ntar kita bahas di artikel berikutnya), bersyukur (bukan sekedar Alhamdulillah, gan…), bijaksana, penyayang dan penyantun (ngerasa???), jujur dan suka bertaubat (alias nyadar diri atau tau diuntung, wkwkwk…). Sifat yang terus-menerus dipupuk dalam diri seseorang, itulah yang akan menjadi karakternya.

 

Munculnya program pendidikan karakter ini sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat positif. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari betapa penting peranannya untuk memenej pendidikan demi ketercapaia ntujuan yang dicita-citakan. Kalau kita pelajari dengan seksama, tujuan pendidikan adalah fitrah manusia yang akhirnya membawa kepada kebaikan dan cita-cita hakiki hidup manusia yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, program ini selayaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan malah sekedar proyek pendidikan.

 

Walaupun secara tertulis program ini seolah sudah terlupakan, sepatutnyalah setiap manusia menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter ini dilaksanakan di setiap lingkungan kehidupan. Tidak hanya di dua lingkungan pendidikan utama yaitu keluarga dan sekolah, tapi juga di lingkungan kerja dan masyarakat lainnya. Dengan demikian, lahirlah sebuah kondisi saling berlomba dalam kebaikan, yang bahasa kerennya fastabiqul khairat, sehingga kesuksesan dan kebahagiaan mewarnai hati dan hari-hari kita. Azzeeeekk..

 

Pendidikan berkarakter untuk karakter berpendidikan. Yup, pendidikan adalah sebuah proses mengajak pada kebaikan. Sedangkan berkarakter artinya personil yang terlibat mestilah memiliki karakte rkebaikan yang diharapkan muncul pada subjek pendidikan tersebut. Dengan demikian, akan tercapailah tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu karakter berpendidikan. Itulah fitrahnya. Bagaimana mungkin seorang ibu yang pelit akan memiliki anak yang pemurah jika dia tidak berusaha mendidiknya menjadi pribadi yang pemurah, atau minimal mengijinkan anaknya mencari jatidiri yang memupuk sifat pemurahnya. Begitu juga di sekolah. Bagaimana mungkin seorang guru yang tidak terjaga perkataannya akan didengar, sedangkan dia belum menerapkan pada dirinya. Atau bagaimana mungkin lingkungan kantor atau pun sekolah yang jujur akan hidup jika para pimpinan atau pendidiknya jauh dari kejujuran itu sendiri.

 

Oleh karena itu, mari kita senantiasa berusaha menjadi pribadi yang baik, memupuk sifat-sifat baik kita (beberapa contoh sifat di atas bisa jadi targetan), sehingga sifat tersebut menjadi karakter kita. Mudah-mudahan kita mampu menularkannya pada orang-orang di sekeliling kita, sehingga menjadi amalan yang bermanfaat untuk akhirat kita. Karena sesungguhnya setiap kebaikan yang kita lakukan tidak lain hanyalah untuk diri kita sendiri (Q.S. Al Israa’ : 7). Dengan menghasilkan kebaikan juga pada orang lain sudah tentu nilai kebaikan itu akan terus mengalir untuk kebahagiaan dunia dan akhirat kita. Fastabiqulkhairat.

 

So, how? Just iqra’ (baca) dan belajar sendiri atau bersama. Niatkan ibadah, and just do it.

Share This Post: